S U G E N G R A W U H

Selamat Datang Di Halaman Kami

Monggo

Kamis, 26 Maret 2009

Info Majlis Dzikir

Pengumuman sekaligus undangan
assalamualaikum,      wr, wb, 
diberitahukan kepada segenap Jama'ah Al Khidmah dan masyarakat pada umumnya, bahwa pada hari Ahad pagi tagl 05 April insya Allah akan dilaksanakan Acara Majlis Dzikir Maulidurrasul saw. dan Haul Akbar Sulthanul Auliya'' As Syeikh Abdul Qadir al Jilanii ra. , as Syeikh Muhammad Utsman al Ishaqi ra., serta haul sunan Kudus, haul sunan Muria serta Ulama2 Kudus.
tempat : Pondok Daarul Khidmah
Alamat : dk. Sekandang Ds. Kandangmas Kec. Dawe Kab.  Kudus Jawa Tengah
 
sekian ,,,,
terima kasih 
wassalamualaikum,      wr, wb, 

Senin, 23 Maret 2009

BAB I
Pendahuluan
I. Latar belakang Masalah
 Sudah menjadi kesepakatan para Ulama’ dari berbagai mazhab, bahwasanya segala hal yang dilakukan oleh manusia mulai dari perkataan, perbuatan, baik yang berhubungan dengan ibadah ataupun mu’amalah memiliki hukum tersendiri, dalam hal ini al-Quran dan al-Hadits sebagai rujukan utama hukum islam terkadang menjelaskan secara nyata dan terkadang samar. Akan tetapi para ulama’ mujtahid mampu mengolah dalil dalil syara’ yang masih mujmal tersebut sebagai bahan untuk merumuskan dan menetapkan suatu hukum. 
II. Identifikasi Masalah
Paparan singkat mengenai Definisi, Obyek dan Tujuan dari : 
 Fiqih 
 Ushul al Fiqh
Dan sejauh manakah pengertian dan Urgensi Qawa’id al Fiqh dan Perkembangan dan pertumbuhan masing masing dari Fiqh, Ushul al Fiqh serta Qawa’id al Fiqh serta perbedaan antara Ushul al Fiqh dan Qawa’id al Fiqh

III. Tujuan Pembahasan
Agar mahasiswa mampu mengetahui dengan jelas dan ringkas mengenai perbedaan mendasar antara al Fiqh, Ushul al Fiqh serta Qawa’id al Fiqh beserta sejarah ringkas pertumbuhan dan perkembangannya. 










BAB II
Pembahasan
I. Al Fiqh 
a. Definisi :
Al Fiqh secara etimologi berarti al Fahmu (Faham/mengerti) berasal dari kata faqiha yafqohu artinya fahima yafhamu. , sedangkan Abdul Wahab Kholaf mengatakan al Fiqh dalam istilah terminology ialah ilmu yang berisi hukum hukum Syara’ amaliah yang digali dari dalil dalil secara tafsil, atau bisa juga dikatakan al Fiqh adalah kumpulan hukun hukum Syara’ Amaliah yang digali dari dalil dalil syara’ yang terperinci. Adapun yang dimaksud dalil dalil yang terperinci disini ialah keterangan dari Al Quran, Al Sunah dan cabang dari keduanya yaitu al Ijma’ dan Ijtihad.  

b. Objek (al Maudhu’) :
Objek kajian al Fiqh ialah segala perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum syara’ baik yang berkaitan dengan ibadah maupun mu’amalah, maka seorang faqih (ahli fiqh) dalam konteks ini adalah seseorang yang mempelajari dan membahas mengenai shalat, puasa, haji, dan juga mengenai jual beli, Ijarah, gadai dan lain sebagainya. Supaya ia bisa mengetahui ketentuan - ketentuan hukumnya, yang timbul dari setiap perbuatan mukallaf .
c. Tujuan :
Tujuan utama dari ilmu al fiqh ialah untuk menerapkan hukum - hukum syara’ terhadap setiap perkataan dan perbuatan orang mukallaf. Dengan demikian Fiqh berfungsi sebagai marji’ (pijakan)dan tolak ukur bagi para Qadli (Hakim) dalam memutuskan suatu hukum, juga sebagai marji’(pijakan) bagi para Mufti dalam fatwa – fatwanya.

II. Ushul al Fiqh
a. Definisi :
Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh. Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut, maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh. Sedangkan dalam tinjauan Syara’ Ushul al Fiqh adalah ilmu yang berisi Kaidah kaidah dan pembahasan pembahasan yang di jadikan pijakan untuk menghasilkan hukum hukum Syara’ Amaliyah. 
As Syeikh Muhammad al Khadori bik mendefinisikan dengan ungkapan Kaidah kaidah yang dijadikan modal/bahan dalam rangka penggalian hukum syara’ yang bersumber dari dalil al Qur’an dan al Sunnah.  

b. Objek (Maudhu’) 
Sasaran daripada Ushul al Fiqh ialah dalil dalil syar’I yang masih bersifat al kulli/ umum agar bisa dijadikan pijakan untuk menghasilkan hukum hukum yang al kulli. Maka dari itu seorang Ushuli ialah bertugas membahas mengenai al qiyas serta sejauh mana ke-Hujjahannya, al Am dan al Muqayyad, al Amru dan segala hal yang mengarah kepadanya dan sebagainya, al Quran adalah dalil syara’ yang utama dalam proses perumusan hukum, nash nash al Qur’an tidak berupa satu bentuk, akan tetapi bermacam macam sighat, mulai dari sighat perintah (al Amr), larangan (al Nahyu), terkadang juga berupa sighat yang umum dan mutlaq. Dan inilah lahan garapan dari pada seorang Ushuli sebagai media untuk merumuskan hukum-hukum yang bersifat al Kulli atau umum dengan melakukan observasi dan identifikasi terhadap bentuk bentuk bahasa arab dan macam macam pemakaian perangkat bahasa tersebut. Dari hasil observasi tersebut ditemukan kefahaman bahwasanya sighat perintah itu pada dasarnya untuk kewajiban, dan sighat larangan pada dasarnya menunjukkan keharaman, dan sighat yang umum bisa dipastikan mencakup segala aspek, serta sighat yang mutlaq menunjukkan atas ketetapan suatu hukum secara mutlaq juga. Akhirnya mereka (baca: ahli ushul) meletakkan / merumuskan beberapa kaidah yang sudah akrab ditelinga kita yaitu : “al Amru li al Ijab, al Nahyu li al Tahrim, dan sejenisnya.”.  

c. Tujuan 
Tujuan pokok dari ilmu Ushul al Fiqh ialah mengaplikasikan kaidah kaidah ushul dan pandangan pandangannya kepada dalil dalil yang tafsili untuk menuju kepada hukum hukum syara’ yang masuk dalam cakupan dalil tersebut, maka dengan kaidah dan pandangan tersebut bisa diketahui nash nash syara’ dan hukum yang ditunjukkannya, dan bisa diketahui juga hal hal yang bisa menghilangkan kesamaran kesamaran dalil tersebut, kaidah kaidah ini juga bisa dijadikan acuan dalam rangka mentarjihkan dalil yang masih ta’arudh. kaidah ushul juga bisa dijadikan istinbat dalam menentukan hukum secara Qiyas atau Ihtisan ataupun Istihsab dan sebagainya dalam menjawab berbagai masalah / kasus (waqi’iyah) yang tidak ditemukan dalam nahs yang sharih dan qath’i. disamping itu dengan kaidah ushul kita bisa memahami apa yang dijadikan istinbat oleh para imam mujtahid dalam merumuskan hukum sesuai dengan strata pemahaman mereka (radliAllahu anhum), ilmu al ushul juga bisa disebut sebagai “ Imadu al Fiqh al Muqaran” karena memahami hukum dan perbedaan sudut pandangnya tidak akan berhasil tanpa mempelajari dalil dan istinbath hukum tersebut dari dalil dalil atau kaidah kaidahnya, dan kaidah tersebut adanya dalam ilmu Ushul al Fiqh. 

III. Qawa’id al Fiqh
1. Definisi 
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menambahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Sedangkan dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah : ”Hukum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”. Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan : ”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”. Sedangkan arti fiqh secara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak dipahami, yaitu :
”Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama” (Q.S. At-Taubat : 122)
Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu : Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama. 
Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci) Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah : ”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah mengatur beberapa masalah fiqh dari berbagai bab.

2. Manfaat dan Urgensi Qawa’id al Fiqhiyah 
Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :
Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi, dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adaptasi yang berbeda, Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, hanya saja dengan cara yang tidak langsung
Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994)
Mempermudah dalam menguasai materi hukum, membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan,Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru, mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik.
Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar.
Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam.
Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan menguasai maqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nash, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan.
Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya berkata bahwa hash-nash tasyrik telah mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang, karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abdis Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.

IV. Pertumbuhan dan perkembangan Fiqh dan Ushul al Fiqh dan Qawa’id al Fiqh
a. Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Fiqh
Ilmu fiqh berkembang seiring perkembangan islam, hal ini dikarenakan islam adalah kumpulan dari akidah, etika dan hukum hukum amali. Dan Hal ini sudah terjadi mulai zaman rasulullah saw. yang bersumber langsung dari al Qur’an dan juga dari sabda sabda beliau yang sesuai dengan kondisi pada saat itu, seperti kejadian yang dialami para sahabat atau pertentangan, ataupun jawaban dari pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah saw. Maka dari itu hukum hukum fiqih pada awalnya adalah hanya terbentuk dari al Qur’an dan dawuh dawuh rasulullah saja. 
Sedangkan pada masa sahabat mulai timbul permasalahan, mereka dihadapkan pada permasalahan yang baru yang sebelumnya tidak terjadi pada masa rasulullah saw. Maka sebagian dari sahabat melakukan ijtihad dan merekapun berfatwa dan memutuskan hukum hukum yang berdasarkan ijtihad dari al qur’an dan al hadits. Bisa dikatakan Fiqh pada masa ini Fiqh bersumber dari tiga unsur yaitu al qur’an al Sunnah dan ijtihad para sahabat yang bersumber dari al qur’an dan al hadits, melewati dua masa ini Fiqh belum berupa disiplin ilmu yang nyata karena hukumnya hanya timbul diakarenakan adanya kejadian kejadian dan belum munculnnya budaya tulis menulis dan kodifikasi, sehingga pada saat itu istilah ilmu fiqh dan Fuqoha’ belum muncul.  
Fiqh memulai babak awal perkembangan pada masa tabi’in dan tabi’ al tabi’in dan juga masa para imam mujtahid, masa ini terjadi sekitar abad ke dua setelah hijrah, dimana pemerintahan islam pada masa itu sudah sangat berkembang ke seluruh penjuru dunia, tak terkecuali bangsa selain arab sehingga umat islam pada masa itu sudah mulai dihadapkan pada hukum dan masalah baru serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong para ulama’ mujtahid untuk memperluas ilmu pengetahuan dan syari’at demi menjawab tantangan dan permasalahan permasalahan, merekapun mulai membuka majelis pembahasan dan perdebatan ilmiah sehingga munculah hukum hukum syariat untuk menjawab permasalahan atau kejadian yang mungkin terjadi dimasa mendatang, dan semua itu bersumber dari al Qur’an al sunnah, fatwa sahabat dan ijtihad para ulama’, maka pada masa ketiga inilah mulai muncul pemikiran dan ide pembukuan as sunnah, dan hukum syara’ pada masa itu sudah memiliki identitas ilmiah sendiri karena rumusan hukum sudah dilengkapi dengan dalil dalil dan illat illat serta cabang cabang permasalahan, al Fiqh pada masa itu sudah menjadi sebuah disiplin ilmu yang kemudian dikenal dengan sebutan ilmu fiqh dan orang orang yang bergelut dibidang ini dikenal dengan sebutan al Fuqoha’. 
Yang termasuk dalam catatan sejarah pembukuan ilmu fiqh pertama kali dan sampai pada kita hingga hari ini ialah kitab al Muwattha’ karya monumental dari Imam al A’dham Malik bin Anas ra. Beliau mendapat perintah langsung dari Khalifah al Manshur untuk mengelompokkan hadits hadits shahih dan pendapat pendapat para sahabat tabi’in dan ulama’ setelah mereka. Al Muwattha’ merupakan kitab kombinasi antara Fiqh dan Hadits yang kemudian menjadi dasar dari fqhnya ulama’ ahli hijaz, kemudian diikuti oleh imam abu yusuf pengikut imam abu hanifah yang menulis banyak kitab fiqh sebagai acuan fiqh ulama’ Iraq, tak ketinggalan Imam syafi’I, beliau juga mengarang kitab al Umm ketika beliau masih bermukim di Mesir yang kemudian kitab tersebut menjadi dasar pokok mazhab syafi’i . 

b. Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul al Fiqh
Ilmu Ushul al Fiqh pertama kali muncul pada masa kurun ke 2 Hijriyah, karena pada masa kurun pertama hijriyah belum ada kebutuhan untuk disiplin ilmu satu ini, karena pada masa itu rasululllahlah yang langsung berfatwa dan memutuskan hukum dari apa yang diwahyukan oleh Allah swt. Dan sabda sabda beliau, dengan tanpa meletakkan suatu dasar dan kaidah dalam merumuskan hukum dan ijtihad, pun juga para sahabat mereka menfatwakan dari apa yang mereka peroleh langsung dari sang Rasul saw. tanpa sebuah kaidah bahasa mereka mampu merumuskan hukum hukum fiqh yang tidak dijelaskan oleh al Qur’an atau al sunnah dengan kemampuan (malakah) yang sudah mendarah daging pada mereka disamping pengalaman mereka selama bersama sang Rasul saw. Akan tetapi ketika islam telah berkembang dengan pesat dan luas dan percampuran bangsa selain arab yang masuk ke arab, maka terjadilah pembauran antar mereka sehingga masuklah mufradat selain bahasa arab dan mulai berkurangnya malakah dari mereka seiring berjalannya waktu, maka sangat diperlukan sebuah kaidah kaidah bahasa untuk memahami nash al quran dan al hadits yang memakai bahasa arab secara benar dan tepat, hal ini sama juga dengan diciptakannya kaidah ilmu nahwu untuk meluruskan ucapan dan perkataan agar benar. 
Imam ibnu Nadim mengatakan : Orang yang pertama kali menulis kaidah kaidah ushul dalam sebuah buku ialah al Imam Abu Yusuf pengikut Imam Abu Hanifah akan tetapi tulisan tersebut tidak sampai kita hingga hari ini. al Imam A’dhom as Syafi’I yang wafat pada tahun 204 H. adalah orang yang pertama kali membukukan kaidah ushul dengan dilengkapi dalil dalil. Yang kemudian dikenal dengan kitab “ar Risalah” sehingga sudah masyhur dikalangan para ulama bahwa as Syafi’I lah yang pertama kali meletakkan kaidah kaidah ushul al fiqh. 
c. Pertumbuhan dan Perkembangan Qawa’id al Fiqh
Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah diklarifikasikan menjadi 3 fase, yaitu :

 Fase pertumbuhan dan pembentukan.
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih. Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijriah. Periode ini dari segi fase sejarah hukum islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.

Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru dibentuk dan ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknnya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.

Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.
Generasi berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250 tahun. Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj.
Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi’i, yang hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu :
”Sesuatu yang dibolehkan dalam keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu :”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan”

 Fase perkembangan dan kodifikasi
Dalah sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya. Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh, karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. 

 Fase kematangan dan penyempurnaan
Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah
“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya”
Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah : “seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin” 


2. Perbedaan antara Kaidah Ushul al Fiqh dan Kaidah al Fiqh 
Kaidah ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang praktis. Sedangkan kaidah fiqh adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang sama.
Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul setelah furu’.
Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam berbagai macam dalil yang rinci yang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalah fiqh yang terhimpun di dalam kaidah.


























BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
Memahami paparan keterangan diatas terlihat jelas perbedaan antara Ushul al Fiqh dan Qawa’id al Fiqh, bahwa 
1. Ushul al Fiqh ialah : Ushul al Fiqh adalah ilmu yang berisi Kaidah kaidah dan pembahasan pembahasan yang di jadikan pijakan untuk menghasilkan hukum hukum Syara’ Amaliyah.
2. Qawaidul fiqhiyah ialah : Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak, yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu. Dalam bahasa lain Kaidah ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang praktis. Sedangkan kaidah fiqh adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang sama. Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul setelah furu’.


II. Saran
Karena pemakalah hanya manusia yang dangkal ilmunya dan hanya bisa mengambil pemahaman - pemahaman dari berbagai sumber rujukan, maka tak heran jika di sana sini masih ditemukan karancauan baik dari segi bahasa maupun tulisan, seyogyanya bagi teman mahasiswa untuk lebih memperdalam lagi literatur literatur yang ada.







DAFTAR PUSTAKA :

Khallaf, Abdul Wahab, 2004, Ushul al Fiqh, Cet ke 2, 
al Syarbaji, Ali Dkk, Surabaya Fiqh al Manhaji, Al Fithrah.
al Khadori Bik, Muhammad, 2004, Beirut, Ushul al Fiqh, dar al fikr. 
al Syafi’I, Muhammad bin Idris, al Risalah, dar al Fikr, Beirut.
al Kajini, Ahmad Sahal bin Mahfud, 2000, Thariqatu al Husul ila Ghayati al Wushul, Diyantama, cet ke 1.