S U G E N G R A W U H

Selamat Datang Di Halaman Kami

Monggo

Selasa, 21 Juli 2009

SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH

PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Sejak periode awal sejarah perkembangan Islam, perilaku kehidupan Muslimin dalam keseluruhan aspeknya telah diatur oleh hukum Islam.Aturan-aturan ini pada esensinya adalah religius dan terjalin Inherent secara religius pula. sehingga dipayakan dalam acuan sumber hukumnya didasarkan pada Al qur`an dan diinterpretasikan melalui Sunah Rasulnya.
B. Rumusan Masalah
1. Sejarah pembentukan sistem Fiqh
2. Ijtihad (fiqh) pada masa Bani Umayah

PEMBAHASAN

A. SEJARAH PEMBENTUKAN SISTEM FIQIH

Awal mula diturunkannya al-Qur`an merupakan sebuah respon terhadap suatu masyarakat saat itu yang kemudian dalam perkembangannya menjadi luas. Seiring dengan lajunya perkembangan Islam ke berbagai penjuru, maka munculah persoalan-persoalan baru yang saat itu terjadi pada masa Rasulullah, padahal al-Qur`an sendiri hanya memuat sebagian hukum terinci, sementara sunnah hanya sebatas pada persoalan-persoalan yang berkembang pada masa Rasulullah. Maka dari itu dalam menyelesaikan persoalan baru di butuhkanlah konsep "ijtihad".
Hingga pada akhirnya konsep "ijtihad" yang awal mulanya muncul sekitar pada abad keempat Hijriyah, muncul produk pemikiran yang baru. Salah satunya adalah kajian tentang Fiqh, selain dari ilmu kalam, ilmu tasawuf dan falsafah (al-hikmah). Dari segi disiplin ilmu keislaman tradisional yang mapan salah satunya adalah ilmu fiqh yang paling kuat mendominasi pemahaman orang-orang muslim akan agama mereka sehingga, paling tidak banyak membentuk bagian terpenting cara berfikir mereka. Kenyataan seperti ini dapat dikembalikan kepada berbagai proses sejarah pertumbuhan masyarakat muslim lalu, juga kepada sebagai dari inti semangat ajaran agama Islam.
Paling tidak, karena pertumbuhan dan perkembangan fiqh menunjukan pada dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri salah satu bentuk karakteristik sejarah agama Islam ialah kesuksesan yang cepat luar biasa dalam ekspansi militer dan politik. terdapat indikasi bahwa ekspansi militer keluar jazarah arabia itu mula-mula dilakukan dalam keadaan terpaksa dan untuk tujuan pertahanan diri. Tetapi gerakan dinamika perluasan itu kemudian seperti tidak dapat dikekang, dan dalam tempo yang singkat, orang-orang muslim menguasai sepenuhnya "daerah beradab" (oioumene, menurut sebutan orang-orang Yunani kuno), yang membentang dari lautan atlantik di barat sampai dengan gurun Gobi di timur.
Disebabkan oleh ciri kekuasaan itu, maka sejak dari semula, khusunya di kalangan Sunni, agama Islam erat kaitannya dengan kemapanan politik. Dari sekian banyak implikasinya adalah bahwa para pemimpin Islam, baik yang berada pada lingkungan kekuasaan maupun yang menekuni bidang pemikiran, banyak sekai disibukkan oleh usaha-usaha mengatur masyarakat dan negara sebaik-baiknya. Ini mendorong kepada curahan perhatian yang luar biasa besar untuk menggali dan mengembangkan unsur-unsur dalam ajaran Islam yang berhubungan dengan masalah pengaturan masyarakat dan negara. Tetapi disini setelah munculnya perkembangan fiqh itu sendiri mengiringi pula pasang surut perkembangan Islam. Dan yang dominan terutama pada abad pertengahan mewarnai corak bagi perkembangan Islam dari masa ke masa.
Dari persoalan-persoalan di atas, penulis mencoba mengetengahkan persoalan tentang fiqh, bagaimanakah fiqh tersebut di bentuk hingga perkembangannya dari masa ke masa. Serta melihat bagaimanakah realitas masyarakat sekarang dalam mensikapi fiqh tersebut. Hingga pada akhirnya membahas tentang rekonsiliasi pemikiran fiqh yang selama ini dijadikan produk hukum Islam itu sendiri bahkan dianggap sebagai produk "hukum tuhan".
B. PANGKAL PERTUMBUHAN FIQH
Dari suatu segi, ilmu fiqh, seperti halnya dengan ilmu-ilmu keislaman yang lainnya dapat dikatakan telah tumbuh semenjak masa Nabi sendiri. Jika "fiqh" dibatasi hanya kepada pengertian "hukum" seperti yang sekarang dipahami oleh banyak orang, maka akar "hukum" yang erat kaitannya dengan kekuasaan itu berada dalam satu peranan nabi sendiri selama beliau mengemban tugas suci kerasulan (risalah) khususnya periode sesudah hijrah ke Madinah, yaitu peranan sebagai pemimpin masyarakat politik (Madinah) dan sebagai hakim pemutus perkara.
Peranan Nabi sebagai pemutus perkara itu sendiri harus di pandang sebagai tak terpisahkan dari fungsi beliau sebagai utusan Tuhan. Seperti halnya dengan semua penganjur agama dan moralitas, Nabi Muhammad s.a.w, membawa ajaran dengan tujuan amat penting reformasi atau pembaharuan dan perbaikan (islah) kehidupan masyarakat. Tetapi peranan Nabi dengan tugas kerasulan (risalah) yang diembannya tidaklah hanya bersangkutan dengan hal-hal kemasyarakatan semata.
Dalam kesanggupan menangkap dan memahami serta mengamalkan keseluruhan makna agama yang serba segi itu ialah sesungguhnya letak perbaikan dan peningkatan nilai kemanusiaan seseorang. Inilah yang dimaksudkan Nabi ketika beliau bersabda dalam sebuah hadis yang amat terkenal bahwa jika tuhan menghendaki kebaikan untuk seseorang maka dibuatlah ia menjadi faqih (orang yang paham) akan agama. Berkenaan dengan prinsip ini al-Sayyid Sabiq mengatakan , bahwa Allah mengutus Nabi Muhammad s.a.w., dengan kecenderungan suci yang lapang (al-hanafiyat al-samhah) kemudian kecenderungan suci yang lapang itu dilengkapi dengan tata cara hidup praktis yang serba meliputi (al-syari`at al-jami`at). Namun dalam sifatnya yang menyeluruh itu masih dapat dikenali adanya dua hal yang berbeda : hal yang parametris keagamaan yang tidak berubah-ubah, dan hal yang dinamis, yang berubah menurut perubahan zaman dan tempat.
Adapun hal-hal yang tidak berubah karena perubahan zaman dan tempat, seperti simpul-simpul kepercayaan (al-aqa`id) dan peribadatan (al-ibadah) maka diberikan secara terinci (mufashashal) dengan rincian yang sempurna, serta dijelaskan dengan nas-nas yang serba meliputi. Karena itu tidak seorang pun dibenarkan menambah atau mengurangi. Sedangkan hal-hal yang berubah dengan perubahan zaman dan tempat, seperti berbagai kemaslahatan sipil (al-masalih al-madaniyyah) serta berbagai perkara politik dan perang. Maka diberikan secara garis besar (mujmal) agar bersesuaian dengan kemaslahatan manusia di setiap masa. Dan dengan ketentuan itu para pemegang wewenang (ulu al-amr, jamak dari wall al-amr, pemegang kekuasaan yakni pemerintah) dapat mencari petunjuk dalam usaha menegakkan kebenaran dan keadilan.
maka ilmu fiqh dalam makna asalnya adalah ilmu yang berusaha memahami secara tepat ketentuan-ketentuan terinci (al-mufashalat) dan ketentuan-ketentuan garis besar (al-mujmalat) dalam ajaran agama itu. Tentang hal-hal yang telah terinci, dengan sendirinya tidak banyak kesulitan. Tetapi tentang hal-hal yang bersifat garis besar, perbedaan penafsiran dan penjabarannya sering menjadi sumber kesulitan yang menimbulkan berbagai perbedaan pendapat antara para pemikir muslim dalam fase perkembangan historis mereka yang paling formatif.
Sebuah karakteristik dari fiqh, bahwa ia muncul tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan masyarakat pada masanya, Tetapi juga menyimpan suatu warisan yang berharga untuk perkembangan hukum Islam di masa yang akan datang. Menurut Norman J. Coulson , berbeda dengan hukum Romawi yang sangat terbatas perkembangannya, fiqh Islam berkembang dengan bentuk formulasi akademik dari skema alternatif untuk suatu kebutuhan praktis, para penguasa tidak ikut campur dalam perkembangan fiqh, tetapi fiqh lebih merupakan argumen teoritis dari ilmuwan dalam suatu jangkauan yang sangat panjang. Untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif dari karakteristik fiqh ini, dalam bahasan ini akan membahas tentang periode-periode perkembangan fiqh dari perkembangan awal hingga periode kebangkitan kembali dalam dekade ini. Periode-periode tersebut adalah sebagai berikut :
Periode Fiqh Di Era Kenabian :Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dari era kenabian adalah dimana hidup Nabi Muhammad serta para sahabatnya yang bermula dari turunnya wahyu dan berakhir dengan wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H. pada era ini masa pembentukan fiqh, dalam artian fiqh dijadikan sebagai sumber "hukum", karena fungsi Nabi selain menjadi pemimpin negara, juga menjadi pemimpin masyarakat dalam menentukan suatu perkara "sebagai hakim pemutus perkara" serta turunnya syariat yang dalam arti sebenarnya.
Disinilah dapat dikatakan bahwa dalam penggalian sumber hukum harus sesuai dengan syari`at (wahyu) yang diturunkan oleh Allah yaitu al-Qur`an serta Sunnah Rasul-Nya, yang nantinya akan digali oleh para Fuqaha serta Mujtahidin dalam membuat suatu hukum serta menyimpulkannya. Sebelum kita membicarakan lebih dari dua sumber tersebut, ada baiknya kita terlebih dahulu membuat kerangka sejarah syariat, yaitu dalam dua periode. Syari`at pada periode Mekkah, dan peride Madinah.
Pertama, syariat pada periode Mekkah, bahwa selama 13 tahun masa kenabian Muhammad di Mekkah, sangat sedikit sekali tentang turunnya hukum. Syari`at diturunkan di kota Mekkah lebih menekankan pada penanaman tauhid, (keimanan pada Allah dan Rasul-Nya), hari kiamat, dan perintah untuk berakhlak mulia. Hematnya adalah pada periode ini lebih menekankan pada nilai ketauhidan sehingga disebut dengan revolusi tauhid.
Kedua, syari`at pada periode Madinah, yaitu pada periode ini turunlah ayat-ayat tentang hukum syari`at, seperti salat, zakat, puasa, dan haji, atau masalah muamalah, keluarga, kriminalitas hingga masalah kenegaraan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pada periode Madinah disebut juga dengan periode revolusi sosial politik. Ada tiga aspek yang berkaitan dengan perkembangan fiqh tersebut, yaitu pertama metodenya bagaimanakah dalam menjelaskan tentang hukum, kedua kerangka hukum syari`at, ketiga, turunnya ayat-ayat al`Qur`an yang secara periodik. Yaitu dalam dua tahapan, tahapan dalam menetapkan kesatuan hukum Islam, serta tahapan tidak sedikit dari suatu perbuatan. Yang menjadi catatan penting bahwa pada periode Mekkah dan Madinah terjalin hubungan integral dan tidak dapat dipisahkan antar satu dengan yang lainnya, ibarat mata rantai yang saling berkaitan.
Kemudian sumber-sumber fiqh pada periode kenabian ini adalah al-Qur`an dan as-Sunnah. Sedangkan untuk pengkodifikasiannya, yaitu Nabi memerintahkannya kepada para sahabatnya untuk menulis ayat-ayat al-Qur`an yang telah turun pada dedaunan, tulang, lembaran-lembaran kulit, dll. Serta sebagiannya dihafal oleh para sahabat yang hafidz.
Yang menjadi titik penting pada persoalan ini adalah bagaimanakah ijtihad yang dilakukan untuk membentuk suatu hukum pada era kenabian ? Bahwa Nabi melakukan ijtihad apabila terhadap suatu peristiwa yang tidak ada ketentuan hukumnya. Dan lamanya Nabi menunggu datangnya wahyu merupakan justifikasi dari al-Qur`an. Kemudian bagaimanakah dengan ijtihadnya para sahabat ? sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Nabi, Nabi membolehkan para sahabatnya untuk juga melakukan ijtihadnya. Misalkan yang dicontohkan ketika Nabi memerintahkan kepada sahabatnya yang bernama Muadz bin jabal ke Yaman. Sehingga dapat dikatakan bahwa ijtihad Nabi dan para sahabatnya dapat dikatakan menjadi sunmber fiqh, sebab pada saat berijtihad beliau mencari hukum-hukum syara` tentang suatu peristiwa yang tidak terdapat dalam nash dengan melakukan Qiyas (penalaran analogis), atau memberikan dasar dengan dasar kemaslahatan. Pada dasarnya dalam periode pertama ini keadaan fiqh masih sangat sederhana berupa pengenalan terhadap hukum-hukum Islam dalam waktu dan ruangan tertentu. Sehingga lebih merupakan kerangka dasar untuk suatu perumusan lebih lanjut.
Periode Fiqh Di Era Khulafaurrosyidun: Periode ini merupakan kedua dalam perkembangan tasyri` Islami, dimulai wafatnya Rasulullah pada tahun 11 H (632 M-661 M). dan berakhir pada tahun 41 H ketika Mu`awiyah menjabat sebagai khalifah. Periode ini hiduplah sahabat-sahabat Nabi terkemuka sebagai penerus perjuangan Nabi yaitu mulai khalifah abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali R.A.
Pada periode ini merupakan peranan yang sangat penting di dalam membela dan mempertahankan agama, dengan memperluas dakwahnya hingga ke negeri Persia, Irak, Syam, dan Mesir. Sehingga dihadapkan dengan persoalan-persoalan yang cukup rumit. Karena perluasan wilayah, sehingga perbedaan kultural, tradisi, situasi dan kondisi membuat para Fuqaha membuat aturan hukum yang muncul belakangan. Pada saat-saat seperti inilah muncul perbedaan pendapat dan pemahaman terhadap Nash. Akibat yang lain dari perluasan wilayah inilah bercampurnya antara orang Arab dengan yang lain. Berbagai ragam pemeluknya sehingga dibutuhkan aturan yang mengatur antara muslim dengan non muslim.
Di dalam penetapan suatu hukum para khulafaurrosyidun tetap berpegang dengan al-Qur`an dan as-Sunnah. Tetapi adakalanya dengan menggunakan kesepakatan bersama yang disebut dengan Ijma` dan Qiyas .Pengumpulan al-Qur`an Sepeninggalan Nabi, al-qur`an belum tersusun secara rapi masih tertulis pada lembaran-lembaran yang terpisah. Sementara pada awal pemerintahan Abu Bakar seringkali terjadi kegoncangan misalnya peperangan dengan penduduk yamamah yang murtad pimpinan Musailamah. Sehingga sekitar 500 sahabat banyak yang meninggal diantaranya 70 dari Huffadz al-Qur`an. Sehingga terjadilah kekhawatiran dalam benak Umar bin Khattab yang mengakibatkan hilangnya warisan al-Qur`an. Hingga akhirnya Umar mengusulkan untuk segera mengumpulkan al-Qur`an dalam satu mushaf dengan memerintahkan sahabat Zaid bin Tsabit.
Pada masa khalifah yang ke tiga, yaitu periode Ustman bin Affan muncul perbedaan yang cukup tajam, mengenai masalah bacaan al-Qur`an. Sehingga mengarah pada permusuhan umat Islam. Hingga akhirnya Ustman menertibkan bacaan al-Qur`an dengan meminta kepada Hafsah istri Nabi untuk menyerahkan Mushaf yang dikumpulkan pada khalifah Abu Bakar dengan menyuruh penulis al-Quran misalnya Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash dan Abdurrahman bin harits untuk menertibkan bacaan al-Qur`an.
Pada waktu berakhirnya khalifah Ustman setelah wafat, maka secara spontan Ali lah yang menggantikannya (656 M). Karena kedekatannya dengan Nabi adalah sepupu dan menantu Nabi. Sehingga banyak orang beranggapan yang berhak menggantikan posisinya dari pada sahabat yang lain yang dikenal dengan paham Syi`ah. Tetapi dalam periode ini terjadi polemik yang besar dengan terbunuhnya Ustman membuat politik pemerintahan bertambah kacau. yang lebih memprihatinkan lagi Ibu mertua Beliau, Siti Aisyah bersama Zubair dan Tholkhah untuk memerangi Ali, karena menuntut terbunuhnya `Ustman. Yang terkenal dengan sebutan perang jamal (unta). Sedangkan dalam waktu yang sama Ali juga menggempur orang-orang pro dengan `Ustman di Negeri Syam, di bawah pimpinan Muawiyah. akhirnya peperangan ini dimenangi oleh pasukan Ali, kemudian dilanjutkan dengan perang melawan Mu`awiyah yang terkenal dengan perang Siffin. Yang sebenarnya kemenangan berada pada Ali, tetapi karena kecerdikan Muawiyah dengan dalih damai dan Ali menerimanya, tetapi hak ini hanya sebagai tipu daya saja. Sebenarnya banyak pengikut Ali yang tidak setuju dengan pendapat Ali. Akhirnya pengikut Ali terpecah menjadi tiga golongan yaitu :
Golongan Syiah : golongan yang setia dengan Ali dan menentang Muawiyah
Golongan Khawarij : golongan yang mulanya setia dengan Ali, tetapi karena tidak setuju dengan genjatan senjata untuk berunding dengan Mu`wiyah. Karena mereka lebih senang peperangan dengan Mu`awiyah.
Golongan Jumhur atau golongan ASWAJA ialah golongan Muslim yang bercorak moderat dan tidak memihak kepada golongan yang manapun.
Sehingga akibat dari perpecahan ini, adalah sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan hukum Islam. Karena didasarkan dengan perbedaan pendapat baik dari para perawi hadis maupun fatwa-fatwa mereka. Misalnya golongan syiah hanya menerima sumber hukum dari golongan mereka sendiri, yang lebih utama adalah hadis dan fatwa yang datang dari Ali dan para sahabatnya. Kemudian golongan Khawarij tidak menerima hadis ataupun fatwa yang datang dari golongan atau para sahabat yang mendukung `Ustman, Ali, maupun Mu`awiyah.
Sedangkan golongan Jumhur menerima segala macam sumber hukum yang datang dari manapun asalkan sumbernya jelas. Perlu menjadi catatan penting, bahwa kasus pembunuhan khalifah `Ustman bukanlah atas perbuatan Ali. Tetapi perbuatan keji dari golongan ketiga yang ingin merebut kedudukan dengan politik adu domba antara khalifah `Ustman dengan pendukungnya Ali. Hingga akhirnya Ibnu Muljam yang anti dengan Ali dapat membunuh sewaktu dia shalat subuh tahun 661 M.
sehingga Ali hanya menjabat sebagai Khalifah selama kurang lebih 5 tahun. pada periode khulafaurrasyidun ini kaitannya dengan pembentukan sistem fiqh masih belum terbentuk. Sebagai pengganti Nabi dalam mengambil sumber hukum untuk menentukan suatu perkara, mengambil dari al-Qur`an, as-Sunnah, dan ijtihad "ra`yu" baik kolektif (hasil musyawarah dari sahabat disebut dengan ijmak.), kemudian ijtihad individu. Hal-hal yang menjadi perbedaan pendapat dikalangan para sahabat Nabi (khulafaurrasyidun) adalah : pertama, karena sifat dari al-Qur`an sendiri, kedua, sifat dari as-Sunnah (berbeda dalam menangkap hadis Rasulullah), ketiga, perbedaan dalam penggunaan ra`yu (akal).
Periode fiqh di era bani umayah: Di era ini perkembangan fiqh membingungkan banyak pengamat. Karena akibat dari warisan pergolakan antara `Ustman dan Ali. Hingga sampai pada pemerintahan daulah Umayyah. Hingga sampai melahirkan agitas teologi yang cukup tajam. Sehingga banyak pengamat sejarah yang mengatakan bahwa dalam periode ini perkembangan fiqh tenggelam di bawah perpecahan antara kesatuan agama dan negara.
Bahwa pergolakan daulah Umayyah yang membawa agitas teologi, ternyata membawa pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan fiqh berikutnya yaitu era kodifikasi yang munculnya Imam-imam mazhab. Pada pembahasan "fiqh dalam era keemasan". Sehingga fiqh dari masa kemasa mempunyai kesinambungan antara yang satu dengan yang lain. Periode ini dalam perkembangan fiqhnya bermula ketika pemerintahan Islam diambil alih oleh Muawiyah bin Abu Sofyan tahun 41 H hingga awal abad kedua Hijrah.
Dalam pengambilan sumber hukum pada era sahabat dan tabi`ien, merujuk pada al-Qur`an dan as-Sunnah. Apabila tidak mendapatkan keduanya mereka merujuk ijtihad para sahabat dan baru setelah itu mereka melakukan ijtihad sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihad para sahabat.
Dalam perkembangannya banyak terjadi perbedaan pendapat dalam pengambilan sumber hukumnya. Antara lain beberapa para Fuqaha yang berada di kota Irak yang banyak menggunakan rasionalitas. Mereka juga bukan hanya menggunakannya sebatas pengambilan hukumnya saja, tetapi beberapa peristiwa yang belum terjadi pun dapat diprediksikan dan diambil hukumnya yang dipelopori oleh Ibrahim bin Yazid an-Nakh`ie yang banyak mewariskan pemikiran fiqh rasionalitas kepada Abu Hanifah. Tetapi yang perlu digaris bawahi disini adalah aliran rasionalitas tidak dapat berjalan dengan mulus. Karena banyak mengundang pertentangan dan reaksi. Diantaranya adalah ulama-ulama Hijaz (Madinah) yang beranggapan aliran ini menyeleweng dari Manhaj para sahabat hingga berpaling dari ajaran Rasulullah. Tetapi bukannya fragmentasi fiqhiyah pada periode "memasung" perkembangan fiqh, sebab apresiasi yang diambil dari gagasan Ibrahim dan Ulama-ulama Irak banyak mengadakan pertemuan dan dialog untuk membicarakan persoalan yang berkembang.
Hingga pada akhirnya perkembangan berikutnya terjadi pembaruan pluralisme, heterogenitas pemikiran baik di Irak maupun Hijaz sendiri yang sangat membantu Tsarwah Fiqhiyah. Berangkat dari perbedaan pemikiran tadi muncul banyak perbedaaan ikhtilafiyah.
Hingga Dr. Thaha Jabir dalam bukunya Adabul Ikhtilaf Fil Islam, menyebutkan bahwa benih-benih meluasnya ikhtilaf sebenarnya telah tumbuh pada masa pemerintahan ketiga, yaitu `Ustman bin Affan. `Ustman adalah khalifah pertama yang memerintahkan para sahabatnya untuk menyebar ke berbagai daerah. Lebih dari sekitar 300 sahabat pergi ke Basyrah dan Kuffah, sebagian lagi ke Mesir dan Syam. penyebaran ini hingga meluas pada para tabi`ien dapat dipahami karena setiap daerah masing-masing mempunyai perbedaan situasi, kebiasan dan kebudayaan, disamping dari kapasitas pemahaman para Fuqaha. Menurut pendapat Ibnul Qayyim mencatat bahwa perkembangan fiqh pada periode ini disebarkan oleh empat Fuqaha sahabat terkemuka. Antara lain pengikut Ibnu Mas`ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Abbas. Orang-orang madinah misalnya banyak mengikuti pendapat fiqh dari pengikut Zaid bin tsabit dan Abdullah bin Umar. Sedangkan orang-orang Mekkah mengikuti pendapatnya dari Abdullah bin Abbas dan di Irak diwarisi oleh fiqh Ibnu Mas`ud.
Selain dari perbedaan pendapat antara ulama Irak dan Hijaz dan muncul aliran maupun sekte dalam Islam, dalam periode ini juga dikenal dengan banyaknya periwayatan Hadis. Periode ini para Tabi`ien menampakkan kesungguhannya dalam mencari dan meriwayatkan Hadis. Dan tradisi ini menjadi amat penting dalam perkembangan fiqh dan hadis. Salah satunya adalah Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah ke delapan dari bani Umayah sering disebut-sebut khalifah pertama yang sering banyak mengumpulkan hadis dan menuliskannya.

PENUTUP
Kesimpulan

Dari suatu segi, ilmu fiqh, seperti halnya dengan ilmu-ilmu keislaman yang lainnya dapat dikatakan telah tumbuh semenjak masa Nabi sendiri. Jika "fiqh" dibatasi hanya kepada pengertian "hukum" seperti yang sekarang dipahami oleh banyak orang, maka akar "hukum" yang erat kaitannya dengan kekuasaan itu berada dalam satu peranan nabi sendiri selama beliau mengemban tugas suci kerasulan (risalah) khususnya periode sesudah hijrah ke Madinah, yaitu peranan sebagai pemimpin masyarakat politik (Madinah) dan sebagai hakim pemutus perkara.
Di era bani umayah perkembangan fiqh membingungkan banyak pengamat. Karena akibat dari warisan pergolakan antara `Ustman dan Ali radliallhuanhuma. Hingga sampai pada pemerintahan daulah Umayyah. Hingga sampai melahirkan agitas teologi yang cukup tajam. Sehingga banyak pengamat sejarah yang mengatakan bahwa dalam periode ini perkembangan fiqh tenggelam di bawah perpecahan antara kesatuan agama dan negara.
Bahwa pergolakan daulah Umayyah yang membawa agitas teologi, ternyata membawa pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan fiqh berikutnya yaitu era kodifikasi yang munculnya Imam-imam mazhab. Pada pembahasan "fiqh dalam era keemasan". Sehingga fiqh dari masa kemasa mempunyai kesinambungan antara yang satu dengan yang lain. Periode ini dalam perkembangan fiqhnya bermula ketika pemerintahan Islam diambil alih oleh Muawiyah bin Abu Sofyan tahun 41 H. hingga awal abad kedua Hijrah.
dalam periode ini juga dikenal dengan banyaknya periwayatan Hadis. Periode ini para Tabi`ien menampakkan kesungguhannya dalam mencari dan meriwayatkan Hadis. Dan tradisi ini menjadi amat penting dalam perkembangan fiqh dan hadis. Salah satunya adalah Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah ke delapan dari bani Umayah sering disebut-sebut khalifah pertama yang sering banyak mengumpulkan hadits dan menuliskannya.
DAFTAR PUSTAKA :
http://www.darussholah.com/cetak.php?id=308

Abd. Salam Arief, Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta : Lesfi, 2003

Al- Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Kuwait : Dar al-Bayan, 1388 H/1968 M, Jilid I.

Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 1998.

Husni Rahiem, Perkembangan Ilmu Fiqh Di Dunia Umat Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1992.

M. Noor Matdawam, Lintasan Sejarah Pembentukan dan Pembinaan Hukum Islam, Yogyakarta : CV Bina Usaha, 1983.

Mun`im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam Sebuah pengantar, Surabaya : Risalah Gusti, 1995.

Norman J. Coulsan, A History Of Islamic law, Edinburgh, 1964.

Nurkholis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta : Paramadina, 1992.

Minggu, 19 Juli 2009

kenang-kenangan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
"Agama dan filsafat memainkan peran yang mendasar dan fundamental dalam sejarah dan kehidupan manusia. Orang-orang yang mengetahui secara mendalam tentang sejarah agama dan filsafat niscaya memahami secara benar bahwa pembahasan ini sama sekali tidak membicarakan pertentangan antara keduanya dan juga tidak seorang pun mengingkari peran sentral keduanya. "
B. Rumusan Masalah
1. Hubungan agama dan filsafat
2. Posisi Filsafat dalam islam menurut filosof Muslim
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hubungan agama dan filsafat
Sebagian pemikir yang berwawasan dangkal berpandangan bahwa antara agama dan filsafat terdapat perbedaan yang ekstrim, dan lebih jauh, dipandang bahwa persoalan-persoalan agama agar tidak "ternodai" dan "tercemari" mesti dipisahkan dari pembahasan dan pengkajian filsafat. Tetapi, usaha pemisahan ini kelihatannya tidak membuahkan hasil, karena filsafat berhubungan erat dengan hakikat dan tujuan akhir kehidupan, dengan filsafat manusia dapat mengartikan dan menghayati nilai-penting kehidupan, kebahagian, dan kesempurnaan hakiki.
Di samping itu, masih banyak tema-tema mendasar berkisar tentang hukum-hukum eksistensi di alam yang masih membutuhkan pengkajian dan analisa yang mendalam, dan semua ini yang hanya dapat dilakukan dengan pendekatan filsafat.

Jika agama membincangkan tentang eksistensi-eksistensi di alam dan tujuan akhir perjalanan segala maujud, lantas bagaimana mungkin agama bertentangan dengan filsafat. Bahkan agama dapat menyodorkan asumsi-asumsi penting sebagai subyek penelitian dan pengkajian filsafat. Pertimbangan-pertimbangan filsafat berkaitan dengan keyakinan-keyakinan dan tradisi-tradisi agama hanya akan sesuai dan sejalan apabila seorang penganut agama senantiasa menuntut dirinya untuk berusaha memahami dan menghayati secara rasional seluruh ajaran, doktrin, keimanan dan kepercayaan agamanya. Dengan demikian, filsafat tidak lagi dipandang sebagai musuh agama dan salah satu faktor perusak keimanan, bahkan sebagai alat dan perantara yang bermanfaat untuk meluaskan pengetahuan dan makrifat tentang makna terdalam dan rahasia-rahasia doktrin suci agama, dengan ini niscaya menambah kualitas pengahayatan dan apresiasi kita terhadap kebenaran ajaran agama.
Walaupun hasil-hasil penelitian rasional filsafat tidak bertolak belakang dengan agama, tapi selayaknya sebagian penganut agama justru bersikap proaktif dan melakukan berbagai pengkajian dalam bidang filsafat sehingga landasan keimanan dan keyakinannya semakin kuat dan terus menyempurna, bahkan karena motivasi keimananlah mendorongnya melakukan observasi dan pembahasan filosofis yang mendalam terhadap ajaran-ajaran agama itu sendiri dengan tujuan menyingkap rahasia dan hakikatnya yang terdalam.
Dengan satu ungkapan dapat dikatakan bahwa filosof agama mestilah dari penganut dan penghayat agama itu sendiri. Lebih jauh, filosof-filosof hakiki adalah pencinta-pencinta agama yang hakiki. Sebenarnya yang mesti menjadi subyek pembahasan di sini adalah agama mana dan aliran filsafat yang bagaimana memiliki hubungan keharmonisan satu sama lain. Adalah sangat mungkin terdapat beberapa ajaran agama, karena ketidaksempurnaannya, bertolak belakang dengan kaidah-kaidah filsafat, begitu pula sebaliknya, sebagian konsep-konsep filsafat yang tidak sempurna berbenturan dengan ajaran agama yang sempurna. Karena asumsinya adalah agama yang sempurna bersumber dari hakikat keberadaan dan mengantarkan manusia kepada hakikat itu, sementara filsafat yang berangkat dari rasionalitas juga menempatkan hakikat keberadaan itu sebagai subyek pengkajiaannya, bahkan keduanya merupakan bagian dari substansi keberadaan itu sendiri. Keduanya merupakan karunia dari Tuhan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Filsafat membutuhkan agama (wahyu) karena ada masalah-masalah yang berkaitan dengan dengan alam gaib yang tak bisa dijangkau oleh akal filsafat. Sementara agama juga memerlukan filsafat untuk memahami ajaran agama. Berdasarkan perspektif ini, adalah tidak logis apabila ajaran agama dan filsafat saling bertolak belakang.
Anselm dalam risalah filsafatnya yang berjudul "Proslogion" mengungkapkan kalimat yang menarik berbunyi: Saya beriman supaya bisa mengetahui. Apabila kalimat ini kita balik akan menjadi: jika saya tidak beriman, maka saya tak dapat mengetahui. Tak dapat disangkal bahwa Anselm meyakini bahwa keimanan agama adalah sumber motivasi dan pemicu yang kuat untuk mendorong seseorang melakukan penelitian dan pengkajian yang mendalam terhadap ajaran-ajaran doktrinal agama, lebih jauh, keimanan sebagai sumber inspirasi lahirnya berbagai ilmu dan pengetahuan. Kesempurnaan iman dan kedalaman pengahayatan keagamaan seseorang adalah berbanding lurus dengan pemahaman rasionalnya terhadap ajaran-ajaran agama, semakin dalam dan tinggi pemahaman rasional maka semakin sempurna keimanan dan semakin kuat apresiasi terhadap ajaran-ajaran agama. Manusia membutuhkan rasionalisasi dalam semua aspek kehidupannya, termasuk dalam doktrin-doktrin keimanannya, karena akal dan rasio adalah hakikat dan substansi manusia, keduanya mustahil dapat dipisahkan dari wujud manusia, bahkan manusia menjadi manusia karena akal dan rasio. Tolok ukur kesempurnaan manusia adalah akal dan pemahaman rasional. Akal merupakan hakikat manusia dan karenanya agama diturunkan kepada umat manusia untuk menyempurnakan hakikatnya. Penerimaan, kepasrahan dan ketaatan mutlak kepada ajaran suci agama sangat berbanding lurus dengan rasionalisasi substansi dan esensi ajaran-ajaran agama.
Substansi dari semua ajaran agama adalah keyakinan dan kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan, sementara eksistensi Tuhan hanya dapat dibuktikan secara logis dengan menggunakan kaidah-kaidah akal-pikiran (baca: kaidah filsafat) dan bukan dengan perantaraan ajaran agama itu sendiri. Walaupun akal dan agama keduanya merupakan ciptaan Tuhan, tapi karena wujud akal secara internal terdapat pada semua manusia dan tidak seorang pun mengingkarinya, sementara keberadaan ajaran-ajaran agama yang bersifat eksternal itu tidak diterima oleh semua manusia.
Dengan demikian, hanya akallah yang dapat kita jadikan argumen dan dalil atas eksistensi Tuhan dan bukan ajaran agama. Seseorang yang belum meyakini wujud Tuhan, lantas apa arti agama baginya. Kita mengasumsikan bahwa ajaran agama yang bersifat doktrinal itu adalah ciptaan Tuhan, sementara belum terbukti eksistensi Pencipta dan pengenalan sifat-sifat sempurna-Nya, dengan demikian adalah sangat mungkin yang diasumsikan sebagai "ciptaan Tuhan" sesungguhnya adalah "ciptaan makhluk lain" dan makhluk ini lebih sempurna dari manusia (sebagaimana manusia lebih sempurna dari hewan dan makhluk-makhluk alam lainnya). Lantas bagaimana kita dapat meyakini bahwa seluruh ajaran agama itu adalah berasal dari Tuhan. Walaupun kita menerima eksistensi Tuhan dengan keimanan dan membenarkan bahwa semua ajaran agama berasal dari-Nya, tapi bagaimana kita dapat menjawab soal bahwa apakah Tuhan masih hidup? Kenapa sekarang ini tidak diutus lagi Nabi dan Rasul yang membawa agama baru? Dan masih banyak lagi soal-soal seperti itu yang hanya bisa diselesaikan dengan kaidah akal-pikiran. Berdasarkan perspektif ini, akal merupakan syarat mendasar dan mutlak atas keberagamaan seseorang, dan inilah rahasia ungkapan yang berbunyi: Tidak ada agama bagi yang tidak berakal.
Mungkin masih terdapat sebagian penganut agama yang beranggapan bahwa ajaran-ajaran agama dapat dipahami secara rasional lewat pandangan-pandangan para filosof yang bukan penganut agama itu sendiri, menurut mereka adalah tidak urgen mengkaji dan mendalami filsafat untuk menafsirkan ajaran-ajaran suci agama. Anggapan ini sangatlah keliru, karena para filosof itu tidak mengetahui secara universal dan komprehensif ajaran-ajaran agama, jadi tafsiran-tafsirannya atas ajaran agama sangat besar kemungkinan mengandung kesalahan.
Sebelumnya telah disinggung bahwa sebagian pemikir Islam memandang bahwa antara agama dan filsafat terdapat keharmonisan. Sekitar abad ketiga dan keempat hijriah, filsafat di dunia Islam mengalami perkembangan yang cukup pesat, Abu Yazid Balkhi, salah seorang filosof dan teolog Islam, mengungkapkan hubungan antara agama dan filsafat, berkata, "Syariat (baca: agama) adalah filsafat mayor dan filosof hakiki adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran syariat." Ia yakin bahwa filsafat merupakan ilmu dan obat yang paling ampuh untuk menyembuhkan segala penyakit kemanusiaan.
Oleh karena itu, para analisis non-religius seperti Bertrand Russel dan Anthony Flew yang memandang ajaran agama dari luar tidak mampu menjelaskan dan menjabarkan substansi dan esensi ajaran agama secara sempurna. Sebagian pengkritik dan pengkaji ajaran agama dari luar dapat dikatakan bahwa mereka itu tidak memahami secara jelas dan proporsional tema pembahasan dan pengkajiannya sendiri. Sangat disayangkan, sebagian penganut agama tanpa sikap kritis dan selektif menerima apa adanya analisa dan penafsiran mereka.
Harapan umat beragama kepada para filosof non-religius adalah bukan pembenaran dan apologi terhadap hakikat ajaran agama, tetapi pengetahuan yang komprehensip dan proporsional terhadap ajaran agama dan keprihatinan yang cukup sebagaimana yang dimiliki para penganut agama. Di samping itu, yang paling urgen bagi mereka adalah pemahaman mendalam dan rasional atas ajaran-ajaran keagamaan dan bukan penerimaan secara awam terhadapnya. Seorang filosof non-religus yang memandang dan mengkaji ajaran agama dari luar, sebelumnya tidak mesti beriman kepada agama itu, tapi pengetahuan yang benar atas inti kajian.
Mengenai dikotomi agama dan filsafat serta hubungan antara keduanya para pemikir terpecah dalam tiga kelompok: kelompok pertama, berpandangan bahwa antara keduanya terdapat hubungan keharmonisan dan tidak ada pertentangan sama sekali. Kelompok kedua, memandang bahwa filsafat itu bertolak belakang dengan agama dan tidak ada kesesuaiannya sama sekali. Kelompok ketiga, yang cenderung moderat ini, substansi gagasannya adalah bahwa pada sebagian perkara dan persoalan terdapat keharmonisan antara agama dan filsafat dimana kaidah-kaidah filsafat dapat diaplikasikan untuk memahami, menafsirkan dan menakwilkan ajaran agama.
Abu Hayyan Tauhidi, dalam kitab al-Imtâ' wa al-Muânasah, berkata, "Filsafat dan syariat senantiasa bersama, sebagaimana syariat dan filsafat terus sejalan, sesuai, dan harmonis" . Ahmad bin Sahl Balkhi yang dipanggil Abu Yazid, dilahirkan pada tahun 236 Hijriah di desa Syamistiyan. Ketika baligh ia berangkat ke Baghdad dan mendalami Filsafat dan ilmu Kalam (teologi). Di samping ia berusaha memadukan syariat dan filsafat, ia juga meneliti agama-agama berbeda lalu ditulis dalam kitabnya yang dinamai Syarâyi' al-Adyân dan beberapa kitab lainnya. Abul Hasan 'Amiri, salah seorang murid Abu Yazid Balkhi, adalah seorang filosof terkenal yang juga berupaya membangun keharmonisan antara agama dan filsafat. Ia memandang bahwa filsafat itu lahir dari argumentasi akal-pikiran dan dalam hal ini, akal mustahil melanggar perintah-perintah Tuhan. Abul Hasan 'Amiri, dalam pasal kelima kitab al-Amad 'ala al-Abad, menyatakan, "Akal mempunyai kapabilitas mengatur segala sesuatu yang berada dalam cakupannya, tetapi perlu diperhatikan bahwa kemampuan akal ini tidak lain adalah pemberian dan kodrat Tuhan. Sebagaimana hukum alam meliputi dan mengatur alam ini, akal juga mencakup alam jiwa dan berwenang mengarahkannya. Tuhan merupakan sumber kebenaran yang meliputi secara kodrat segala sesuatu. Cakupan kodrat adalah satu cakupan dimana Tuhan memberikan kepada suatu makhluk apa-apa yang layak untuknya. Dengan ini, dapat kesimpulan bahwa alam natural secara esensial berada dalam ruang lingkup hukum materi dan hukum materi juga secara substansial mengikuti jiwa, dan jiwa berada di bawah urusan akal yang membawa pesan-pesan Tuhan."
'Amiri memandang bahwa akal secara esensial mengikuti dan taat kepada perintah-perintah Tuhan. Di bagian lain dari kitab itu, akal dikategorikan sebagai hujjah dan dalil Tuhan, ia menyatakan bahwa derajat akal apabila dibandingkan dengan jiwa sama seperti daya penglihatan apabila dihubungkan dengan mata. 'Amiri, dalam kitab as-sa'âdah wa al-isâd, juga menyinggung hubungan akal, jiwa dan alam materi, ia berkata, "Jiwa mengambil manfaat dari akal dan menyalurkan manfaat ke alam materi. Akal adalah kemuliaan dan kehormatan jiwa dan jiwa adalah pelayan akal. Ketika jiwa melayani akal maka pada jiwa akan nampak kesucian dan cahaya dan ketika ia meninggalkan akal maka akan nampak kegelapan dan kekotoran. Dengan demikian, kebodohan akan muncul dan berefek pada kehancuran dan kemaksiatan."
'Amiri beranggapan bahwa jiwa yang berakal mempunyai kelayakan untuk menjadi khalifah Tuhan. Menurutnya, seseorang yang memiliki jiwa yang dicahayai oleh akal layak menjadi khalifah Tuhan yang mengatur, mengelolah dan membangun alam ini, dan di alam non-materi menempati kedudukan yang mulia dan tinggi. Jiwa ini, dari sisi badan berhubungan dengan alam rendah (materi) dan dari dimensi akal berkaitan dengan alam tinggi. Dengan ibarat lain, khalifah Tuhan adalah substansi wujudnya memiliki kedudukan ruhani dan spiritual tertinggi dan juga berhubungan dengan derajat jasmani terendah, maujud ini tidak lain merupakan sesuatu yang menghubungkan dan menggabungkan dua alam.
Dari perspektif di atas, 'Amiri menafsirkan makna kenabian dan menyimbolkannya dengan sebuah garis. Garis ini, pada satu sisi terhubung ke alam ruhani dan pada sisi lain memanjang ke alam materi. Dengan begitu wahyu dapat didefinisikan menjadi sebuah realitas makna yang turun dari alam gaib ke alam materi. Menurut 'Amiri, walaupun jiwa di awal perwujudannya tak lepas dari pengaruh materi dan indera-indera lahiriah, tapi jiwa tidak pernah terputus dari cahaya akal, karena akal merupakan esensi jiwa. Perlu diperhatikan bahwa meskipun jiwa senantiasa mengambil manfaat dari cahayai akal, tapi tanpa cahaya agama jiwa mustahil mencapai alam spiritual tertinggi. 'Amiri dalam menjelaskan hal itu mengambil sebuah pemisalan: dalam perkembang-biakan spesis tumbuhan di alam, semua tingkatan kesempurnaan satu spesis tumbuhan secara potensial terdapat dalam wujudnya, tapi untuk mewujudkan daun-daunnya, bunga-bunganya dan buah-buahnya mesti membutuhkan seorang tukang kebun. Jiwa manusia juga secara potensial memiliki semua derajat kesempurnaan, tetapi untuk mengaktualkan seluruh potensi yang dimilikinya niscaya memerlukan agama dan filsafat.
Dengan memperhatikan apa yang telah diuraikan di atas, bisa dikatakan bahwa filosof tersebut sepakat dengan gagasan kebaikan dan keburukan akal, dan hal ini juga diterima oleh aliran Mu'tazilah. Dari pikiran-pikiran Mu'tazilah diketahui bahwa mereka ini berpijak pada konsep "syariat akal". Mereka mendefinisikan "syariat akal" sebagai berikut, "Salah satu syariat akal adalah bahwa manusia tidak menyukai apa yang terjadi pada seseorang sebagaimana dia juga tidak mencintai hal tersebut terjadi pada dirinya, dan manusia mencintai apa yang berlaku padanya sebagaimana dia juga menyenangi hal itu berlaku pada orang lain. Perbuatan yang dia kerjakan secara tersembunyi dengan senang hati juga dilakukan secara terbuka". Apa-apa yang dipandang akal sebagai keburukan digolongkan sebagai hal yang wajib dihindari dan tidak dikerjakan.
Mereka yang berpijak pada "syariat akal" memandang bahwa hukum-hukum dan undang-undang yang diturunkan untuk manusia yang bersumber dari Nabi dan Rasul mustahil bertentangan dengan "syariat akal". Abul Hasan 'Amiri dalam kitab al-Itmâm lifadhâil al-Anâm, membahas hubungan antara teori (ilmu) dan amal, di situ ia menekankan pentingnya ilmu bagi amal. Di tempat lain ia katakan bahwa wahyu, ilham, lintasan ide, dan pikiran merupakan bentuk ibadah akal (an-nusuk al-aql). An-nusuk berarti ibadah, kesucian, dan kedekatan kepada Tuhan, menurut 'Amiri hukum-hukum Ilahi adalah rasional dan apa yang rasional dapat menyebabkan kesucian dan kedekatan kepada Tuhan. Ibnu Sina, dalam salah satu karyanya juga mengungkapkan bahwa tafakkur, berpikir, dan kontemplasi juga merupakan salah satu bentuk ibadah dan doa.
Menurut Ibnu Sina, tafakkur dalam kerangka teoritis dan praktis (terapan) pada hakikatnya adalah bahwa manusia berakal mengulurkan tangannya kepada realitas mutlak yang maha sempurna untuk memohon agar hakikat, rahasia, dan ilmu atas segala sesuatu tersingkap baginya.
Abu Nashir Farabi, pendiri madzhab filsafat Islam, filosof yang juga berupaya menggabungkan antara agama dan filsafat. Filosof ini, setelah mengkaji secara mendalam persoalan kebahagian pada akhirnya berpendapat tentang bentuk tasawuf (pensucian diri) yang berpijak pada rasionalitas. Tasawuf Farabi merupakan tasawuf yang tidak hanya menekankan pada niat tulus, disiplin, dan motivasi yang kuat dalam sair suluk (perjalanan spiritual) serta bersungguh-sungguh dalam meninggalkan kelezatan-kelezatan jasmani dan dunia, tapi juga menitikberatkan pada dimensi teoritis yang berpijak pada pemikiran yang mendalam. Menurut Farabi, kesempurnaan pensucian jiwa bukan hanya bergantung pada ibadah-ibadah ritual, tetapi juga dipengaruhi oleh tafakkur, rasionalitas, dan pemikiran. Tak bisa disangkal bahwa ibadah-ibadah jasmani juga berpengaruh dalam pencapaian kesempurnaan, tetapi kesempurnaan yang diraih bersama dengan akal-pikiran dan rasionalitas memiliki keunggulan yang lebih. Semakin sempurna akal-pikiran dan makrifat manusia, maka semakin dekat ia kepada alam transenden dan alam akal, dan ketika ia sampai pada derajat alam akal tertinggi, maka selayaknya ia memperoleh cahaya-cahaya Tuhan, puncak tertinggi kebahagiaan dan kesempurnaan makrifat Ilahi.
Dalam sejarah filsafat Islam, Syeikh Syihabuddin Suhrawardi adalah termasuk salah seorang filosof yang menentang pemisahan ajaran suci agama dan pemikiran filsafat, ia beranggapan bahwa keduanya terdapat kesatuan hakikat. Ia kemudian membangun sendiri sistem filsafatnya berpijak pada asumsi adanya kesatuan tersebut. Menurutnya, perbedaan yang ada di antara agama-agama dan aliran-aliran pemikiran dipengaruhi oleh banyak faktor dan salah satu faktor utamanya adalah perbedaan dalam istilah.
Hakikat matahari yang bercahaya itu adalah satu dan ia tidak menjadi banyak dengan beragamnya manifestasi-manifestasinya. Kota hanyalah satu tapi pintu-pintunya sangatlah banyak dan jalan-jalan menuju ke kota itu tak berbilang banyaknya. Dari kumpulan karya-karya Syaikh Isyraq dapat dipahami bahwa Hikmah Isyraqi dijabarkan dengan bahasa kinâyah (figuratif), dan bahasa kinâyah tidak dapat diketahui oleh banyak manusia. Bahasa argumentasi dan filsafat dapat dipahami oleh sebagian manusia yang memiliki kemampuan dan bakat yang cukup, tetapi memahami bahasa kinayah tak cukup hanya dengan kemampuan yang cukup itu. Untuk mengetahui bahasa kinayah diperlukan kemampuan istimewa yang hanya dapat dicapai dengan riyâdhah (disiplin spiritual), murâqabah (penjagaan diri dari segala kemaksiatan), tafakkur mengenai hakikat jiwa dan alam. Syaikh Isyraq menyatakan bahwa sebagaimana penciptaan dan perwujudan segala sesuatu hanya dilakukan oleh Tuhan, maka Dia pulalah yang memberikan hidayah kepada semua makhluk-Nya.
Di zaman ketika Syaikh Isyraq meletakkan pondasi filsafat Isyraqiyah (Iluminasi)nya di dunia timur Islam dimana menekankan pada kesatuan hakikat, juga Abul Walid bin Rusyd di dunia barat Islam lantang menyuarakan keharmonisan hikmah (baca: filsafat) dan syariat (baca: agama). Ibnu Rusyd, dalam kitabnya Fashl al-maqâl fi ma baina asy-Syariah wa al-Hikmah, menjabarkan dan mengkaji aspek-aspek syariat. Ia di awal kitab Manâhij al-Adillah fi Aqâid al-Millah juga memaparkan masalah tersebut dan berkata, "Syariat terbagi dalam dua bagian, yakni lahir dan batin, dan batin syariat dikhususkan untuk para ulama, sementara mayoritas yang awam hanya diperintahkan untuk mengamalkan lahiriah syariat dan menghindari berbagai bentuk takwil. Bagi kaum ulama juga tidak dibenarkan mengungkapkan dan menyampaikan hakikat-hakikat yang diperoleh dari jalur penakwilan kepada masyarakat awam." Ibnu Rusyd dalam tulisannya berpijak pada perkataan Imam Ali As yang bersabda, "Berbicaralah kepada masyarakat sehingga mereka dapat memahami, apabila kandungan pembicaraan lebih tinggi dari pada kadar pemahaman masyarakat, maka dikhawatirkan mereka akan menolak perkataan Tuhan dan para Nabi-Nya". Ibnu Rusyd yakin bahwa peran kitab-kitab suci, yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul Tuhan, meliputi satu makna lahir dan beberapa makna batin. Tapi ia bukanlah orang pertama yang mengungkapkan hal-hal tersebut. Ibnu Rusyd dan juga semua orang yang percaya terhadap masalah itu, berkeyakinan atas keberadaan makna batin dimana apabila makna batin syariat dan ajaran agama disingkapkan kepada masyarakat awam akan mengakibatkan munculnya masalah dan persoalan psikologis dan sosiologi yang terburuk. Ibnu Rusyd berpandangan bahwa senantiasa terdapat kesatuan hakikat yang memiliki penafsiran-penafsiran yang beragam.
Dengan demikian, penisbahan suatu pandangan mengenai hakikat-hakikat yang saling bertolak belakang kepada Ibnu Rusyd adalah penisbahan yang tidak beralasan. Dalam aliran politik Latiny Ibnu Rusyd, penisbahan gagasan itu kepada Ibnu Rusyd sangat masyhur, tapi apabila diperhatikan bahwa perspektif hakikat batin syariat dan hakikat lahir syariat - yang juga digagas oleh Ibnu Rusyd - ditempatkan secara berjenjang dan bergradasi, maka mustahil terdapat dua hakikat atau beberapa hakikat yang saling bertentangan. Dengan perspektif ini, mustahil pandangan tentang hakikat-hakikat yang saling berlawanan itu kita nisbahkan kepada Ibnu Rusyd. Sebagaimana yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa keharmonisan dan kesesuaian antara agama dan filsafat senantiasa menjadi titik tekan para filosof Islam hingga zaman Ibnu Rusyd. Filosof-filosof pasca Ibnu Rusyd kurang lebih menjabarkan masalah tersebut dan mereka mempunyai pandangan yang sama mengenai keharmonisan hubungan antara agama dan filsafat.
Pada abad kesebelas hijriah, muncul seorang filosof bernama Sadruddin Syirazi yang secara gemilang mengkaji hakikat eksistensi dan melahirkan gagasan-gagasan filsafat yang baru dan cemerlang. Ia meneliti hadits-hadits yang diriwayatkan dari Ahlulbait Nabi As dan berkesimpulan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan bahkan terdapat keharmonisan di antara keduanya. Persoalan ini senantiasa ia tekankan di dalam banyak karya-karyanya, dalam kitabnya bertema Syarh Ushul al-Kâfi ia menafsirkan 34 hadits yang sahih berkenaan dengan akal dan keunggulan-keunggulannya. Hadits-hadits tentang akal ini memang paling banyak diriwayatkan dari Imam-Imam Suci Ahlulbait Nabi As yang disampaikan oleh ulama dan ahli hadis (muhaddits) Syiah. Sementara hadis-hadis seperti ini sangat jarang diriwayatkan oleh ulama dan ahli hadis Sunni dan bahkan sebagian dari mereka menganggap bahwa hadis-hadis yang berhubungan dengan akal adalah palsu.
Muqaddasi, salah seorang ulama besar Sunni, memandang bahwa hadits-hadits yang berkaitan dengan akal adalah bohong dan palsu. Perlu diperhatikan bahwa Sadruddin Syirazi di samping ia adalah seorang filosof besar juga merupakan ahli hadis, maka dari itu, hadis-hadis yang ia anggap sahih juga dipandang sahih oleh para ahli hadis lainnya.
B. Posisi filsafat dalam islam menurut para Filosof
Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam, diakui banyak kalangan telah mendorong perkembangan filsafat Islam menjadi makin pesat. Namun demikian, seperti dikatakan Oliver Leaman, adalah suatu kesalahan besar jika menganggap bahwa filsafat Islam bermula dari penerjemahan teks-teks Yunani tersebut atau hanya nukilan dari filsafat Aristoteles (384-322 SM) seperti dituduhkan Renan, atau dari Neo-Platonisme seperti dituduhkan Duhem. Pertama, bahwa belajar atau berguru tidak berarti meniru atau membebek semata. Mesti difahami bahwa kebudayaan Islam menembus berbagai macam gelombang dimana ia bergumul dan berinteraksi. Pergumulan dan intereksi ini melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Jika kebudayaan Islam tersebut terpengaruh oleh kebudayaan Yunani, mengapa tidak terpengaruh oleh peradaban India dan Persia, misalnya? Artinya, transformasi dan peminjaman beberapa pemikiran tidak harus mengkonsekuensikan perbudakan dan penjiplakan. Kedua, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani
Meski karya-karya Yunani mulai diterjemahkan pada masa kekuasaan Bani Umaiyah, tetapi buku-buku filsafatnya yang kemudian melahirkan filosof pertama muslim, yakni al-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap pada masa dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa al-Makmun (811-833 M), oleh orang-orang seperti Yahya al-Balmaki (w. 857 M), Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain ibn Ishaq. Pada masa-masa ini, sistem berfikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalam (teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional, yang dibangun Wasil ibn Ata’(699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang, dengan tokohnya masing-masing, seperti Amr ibn Ubaid (w. 760 M), Jahiz Amr ibn Bahr (w. 808 M), Abu Hudzail ibn al-Allaf (752-849 M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-835 M), Mu`ammar ibn Abbad (w. 835 M) dan Bisyr ibn al-Mu`tamir (w. 840 M). Begitu pula dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinbath) dengan istilah-istilah seperti istihsan, istishlah, qiyas dan lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-tokoh mazhab fiqh yang menelorkan metode istinbath dengan menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796 M), Syafi’i (767-820 M) dan Ibn Hanbal (780-855 M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani.
Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya logika dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran filosofis yang berjalan baik dalam masyarakat Islam, yakni dalam soal-soal teologis dan kajian hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari teologi dan hukum inilah yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat Yunani dalam Islam.
Jika demikian, dari mana pemikiran rasional filosofis Islam itu sendiri berawal? Sebagaimana dinyatakan para peneliti yang kritis, muslim maupun non-muslim, pemikian rasional-filosofis Islam lahir bukan dari fihak luar melainkan dari kitab suci mereka sendiri, dari al-Qur`an, khususnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk mensesuaikan antara ajaran teks dengan realitas kehidupan sehari-hari. Pada awal perkembangan Islam, ketika Rasul saw masih hidup, semua persoalan bisa diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepada beliau, atau diatasi lewat jalan kesepakatakan diantara para cerdik. Akan tetapi, hal itu tidak bisa lagi dilakukan setelah Rasul wafat dan persoalan-persoalan semakin banyak dan rumit seiring dengan perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada ajaran teks suci, al-Qur`an, lewat berbagai pemahaman. Dalam hal ini, ada beberapa model kajian resmi yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis. Antara lain, (1) penggunaan takwil. Makna takwil diperlukan untuk mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi secara ketat dan terbatas, tapi pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran dan perenungan mendalam, karena ia berusaha keluar dari makna lahiriyah (zhahir) teks. (2) Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang mengandung lebih dari satu makna (musytarak) dengan istilah-istilah yang hanya mengandung satu arti.
Disini justru lebih mendekati model pemecahan filosofis dibanding yang pertama. (3) Penggunaan qiyas (analogi) atas persoalan-persoalan yang tidak ada penyelesaiannya secara langsung dalam teks. Misalnya, apakah larangan menimbun emas dan perak (QS. Al-Taubah, 34) itu hanya berlaku pada emas dan perak atau juga meliputi batu permata dan batu berharga? Apakah kata mukmin dan muslim dalam al-Qur`an juga mencakup wanita dan budak?
Bersamaan dengan itu, dalam teologi, masyarakat Islam juga dituntut untuk menyelaraskan pandangan-pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang utuh. Misalnya, bagaimana menyelaraskan antara sifat kemahakuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan maha tahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian dibalas sesuai perbuatannya. Bagaimana menafsirkan secara tepat bahasa antropomorfis (menyerupai sifat-sifat manusia) al-Qur`an, padahal ditegaskan pula bahwa Tuhan tidak sama dengan manusia, tidak bertangan, tidak berkaki dan seterusnya. Semua itu menggiring para intelektual muslim periode awal, khususnya para teolog untuk berfikir rasional dan filosofis, dan kenyatannya metode-metode pemecahan yang diberikan atas masalah teologis tidak berbeda dengan model filsafat Yunani. Perbedaan diantara keduanya, menurut Leaman, hanyalah terletak pada premis-premis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya tata cara penyusunan argumen. Yakni, bahwa pemikiran teologi Islam didasarkan atas teks suci sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis logis, pasti dan baku. Setelah itu, masuklah pemikiran dan filsafat Yunani, lewat program penterjemahan.

Filsafat Yunani dalam Pemikiran Islam.
Peradaban dan pemikiran Yunani, termasuk filsafat, menurut catatan para sejarawan, telah mulai di kenal dan dipelajari oleh kaum sarjana di kota Antioch, Haran, Edessa dan Qinnesrin (wilayah Syiria utara), juga di Nisibis dan Ras`aina (wilayah dataran tinggi Iraq) sejak abad ke IV M. Kegiatan akademik ini tetap berjalan baik dan tidak terganggu oleh penaklukan tentara muslim ke wilayah tersebut yang terjadi pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab (634-644 M). Setidaknya ini bisa dibuktikan dengan masih semaraknya kajian-kajian teologi di biara Qinissirin di Syiria dan munculnya tokoh yang menghasilkan karya-karya filsafat, seperti Severas Sebokht (w. 667 M) yang mengomentari Hermeneutica dan Rhetorica Aristoteles, juga Jacob (w. 708 M) yang menulis Enchiridion dan menterjemahkan Categories karya Aristoteles kedalam bahasa Arab.
Buku-buku dan ilmu-ilmu Yunani yang lain yang di terjemahkan ke dalam bahasa Arab dalam periode ini, yakni masa kekhalifahan Bani Ummayah (661-750 M), khususnya pada masa kekhalifahan Abd al-Malik (685-705 M) adalah terutama yang berkaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan dan dokumentasi-dokumentasi pemerintahan, demi untuk mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh model administrasi Bizantium-Persia. Selanjutnya, buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu pragmatis seperti kedokteran, kimia dan antropologi. Hanya saja, karena pemerintahan lebih disibukan oleh persoalan politik dan ekonomi, usaha-usaha keilmuan ini tidak berlangsung baik.
Pemikiran filsafat Yunani benar-benar mulai bertemu dan dikenal dalam pemikiran Arab-Islam setelah masa pemerintahan Bani Abas, khususnya sejak dilakukan program penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan al-Makmun (811-833 M); suatu program yang oleh al-Jabiri dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran keagamaan Arab-Islam, pertemuan epistemologi burhani Yunani dengan epistemologi bayani Arab. Program penterjemahan dan kebutuhan akan penggunaan metode filsafat ini sendiri, di dasarkan atas tuntutan kebutuhan yang ada, bahwa saat itu muncul banyak doktrin yang --kurang lebih-- hiterodok yang datang dari Iran, India, Persia atau daerah lain dari pinggiran Islam, seperti Mazdiah, Manikian, materialisme, atau bahkan dari pusat Islam sendiri sebagai akibat dari pencarian bebas yang berubah bentuk menjadi pemikiran bebas seperti penolakan terhadap wahyu dan lainnya yang dikategorikan dalam istilah zindiq Untuk menjawab serangan doktrin-doktrin ini, para sarjana muslim (ulama) merasa perlu untuk mencari sistem berfikir rasional dan argumen-argumen yang masuk akal, karena metode sebelumnya, bayani sudah tidak memadai lagi untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang sangat beragam yang tidak dikenal sebelumnya. Karena itu, Ira M. Lapidus menyatakan bahwa filsafat bukan sekedar bentuk analisis secara murni tetapi telah menjadi bagian dari agama.
Selanjutnya, metode dan pemikiran filsafat Yunani ini, dalam pemikiran Islam, pertama kali dikenalkan dan digunakan oleh al-Kindi (806-875). Dalam kata pengantar buku Filsafat Pertama (al-Falsafat al-ula), yang dipersembahkan untuk khalifah al-Mu`tashim (833-842), al-Kindi menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat, serta ketidaksenangannya pada orang-orang yang anti filsafat, yakni para pendukung bayani. Namun, karena begitu dominannya kaum bayani (fuqaha) ditambah masih minimnya referensi filsafat yang telah diterjemahkan, apa yang disampaikan al-Kindi tidak begitu bergema. Meski demikian, al-Kindi telah memperkenalkan persoalan baru dalam pemikiran Islam; kesejajaran antara pengetahuan manusia dan Tuhan, dan mewariskan persoalan filsafat yang terus hidup sampai sekarang; (1) penciptaan alam semesta, bagaimana terjadinya, (2) keabadian jiwa, apa artinya dan bagaimana pembuktiannya, (3) pengetahuan Tuhan yang partikuar, apa ada hubungannya dengan astrologi dan bagaimana terjadinya.
Metode rasional filsafat Yunani semakin masuk sebagai salah satu sistem pemikiran Arab-Islam adalah setelah masa al-Razi (865-925). Ia di kenal sebagai orang yang ekstrim dalam teologi dan dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Menurut al-Razi, semua pengetahuan --pada prinsipnya- dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia. Akal atau rasiolah yang menjadi hakekat kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang konsep baik dan buruk; setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong, dugaan belaka dan kebohongan.
Meski demikian, perkembangan yang pesat pada ilmu-ilmu Yunani dalam Islam berkat dukungan yang besar dari Khalifah sebagaimana diatas bukan tidak menimbulkan persoalan. Imam Ibn Hanbal (780-855 M), salah seorang imam mazhab fiqh dan orang-orang yang sepikiran dengannya dari kalangan ortodoks menunjukkan sikap yang tidak kenal kompromi terhadap ilmu-ilmu Yunani. Menurut George N. Atiyeh, penentangan kalangan ortodoks tersebut disebabkan, pertama, adanya ketakutan dikalangan ortodoks (fiqh) bahwa ilmu-ilmu Yunani akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam terhadap Tuhan. Kedua, adanya kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani adalah orang-orang non-muslim, penganut Machianisme, orang-orang Sabia dan muslim penganut mazhab Batiniyah yang esoteris, yang itu semua mendorong munculnya kecurigaan atas segala kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan. Ketiga, adanya usaha untuk melindungi umat Islam dari pengaruh Machieanisme Persia khususnya maupun faham-faham lain yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ditimbulkan dari pikiran-pikiran filsafat Yunani.
Kecurigaan dan penentangan kaum ortodoks terhadap ilmu-ilmu Yunani memang bukan tanpa dasar. Kenyataannya, tidak sedikit tokoh muslim yang belajar filsafat akhirnya justru meragukan dan bahkan menyerang ajaran Islam sendiri. Salah satunya adalah Ibn Rawandi (lahir 825 M). Ia menolak adanya kenabian, setelah belajar filsafat. Menurutnya, prinsip kenabian bertentangan dengan akal sehat, begitu pula tentang syareat-syareat yang dibawanya, karena semua itu telah bisa dicapai oleh akal; akal telah mampu mengapai apa yang benar dan salah, yang baik dan jahat dan seterusnya. Contoh lain adalah al-Razi (865-925 M). Al-Razi juga menolak kenabian dengan tiga alasan; (1) bahwa akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak berguna. Dengan rasio manusia telah mampu mengenal Tuhan dan mengatur kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi. (2) Tidak ada pembenaran untuk pengistemewaan beberapa orang untuk membimbing yang lain, karena semua orang lahir dengan tingkat kecerdasan yang sama, hanya pengembangan dan pendidikan yang membedakan mereka, (3) bahwa ajaran para nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama Tuhan yang sama, mestinya tidak ada perbedaan.
Usaha penentangan kaum ortodoks yang dipelopori Ibn Hanbal terhadap ilmu-ilmu Yunani diatas mencapai puncak dan keberhasilannya pada masa khalifah al-Mutawakkil (847-861 M). Tampilnya al-Mutawakkil dengan kebijakannya yang mendukung kaum ortodoks (salaf) menyebabkan kalangan yang tadinya tertindas ini memperoleh angin dan muncul kepermukaan menggantikan posisi orang-orang Muktazilah khususnya dan para ahli filsafat umumnya, dan mulailah terjadi revolosi orang-orang yang tidak sefaham dipecat dan diganti dari kalangan salaf. Al-Kindi yang ahli filsafat adalah salah satu contoh, dipecat dari jabatannya sebagai guru istana karena tidak sefaham dengan sang khalifah yang salaf.
Terkena tindakan keras dan resmi pemerintah tersebut, untuk sementara, khususnya di ibu kota Baghdad, filsafat mengalami kemunduran, setidaknya tidak mengalami perkembangan berarti, karena tidak bisa diajarkan secara bebas dan terbuka. Akan tetapi, diluar Baghdad, di kota-kota propinsi otonom, khususnya di Aleppo dan Damaskus, kajian-kajian filsafat tetap giat dilakukan, sehingga melahirkan seorang filosof besar, yakni al-Farabi (870-950). Tokoh yang dikenal sebagai folosof paripatetik ini tidak hanya menggunakan metode burhani dalam filsafatnya tetapi bahkan berhasil meletakkan filsafat Aristoteles sebagai dasar-dasar filsafat Islam sehingga dianggap sebagai guru kedua (al-mu`allim al-tsani) setelah Aristoteles sebagai guru pertama (al-mu`allim al-awwal).
Selain itu, al-Farabi juga menempatkan burhani sebagai metode paling baik dan unggul, sehingga ilmu-ilmu filsafat yang memakai metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukannya dibanding ilmu-ilmu agama; teologi (ilm al-kalam) dan yurisprodensi (fiqh), yang tidak mempergunakan metode burhani. Dalam hal ini ia membuat tiga klasifikasi keilmuan; ilmu-ilmu filsafat, ilmu-ilmu religius dan ilmu-ilmu bahasa. Menurutnya, ilmu-ilmu filsafat berada dalam hierarki paling tinggi dan unggul disusul kemudian ilmu-ilmu religius dan ilmu bahasa. Yang termasuk ilmu-ilmu filsafat adalah metafisika, matematika, ilmu-ilmu alam dan ilmu politik. Sampai disini filsafat Yunani telah memperoleh tempat dan posisi yang cukup mapan dalam percaturan pemikiran Arab-Islam. Dukungan dan pembelaan yang ketat dari al-Farabi telah menyebabkan filsafat memperoleh tempat yang demikian, bahkan melebihi posisi ilmu-ilmu yang diklaim sebagai ilmu religius.
Dengan posisi seperti itu, maka tidak mengherankan jika dalam waktu yang tidak lama, pemikiran filsafat Yunani segera menduduki posisi puncak dalam percaturan pemikiran Arab-Islam, yakni pada masa Ibn Sina (980-1037 M). Dalam filsafat, seperti halnya al-Farabi, Ibn Sina menegakkan bangunan Neoplatonisme diatas dasar kosmologi Aristoteles-Plotinus, dimana dalam bangunan tersebut digabungkan konsep pembangunan alam wujud menurut faham emanasi. Dalam kaitannya dengan kenabian, Ibn Sina juga berusaha membuktikan adanya kenabian, dengan menyatakan bahwa kenabian merupakan bagian tertinggi dari sukma yang disebut “akal” berbeda dengan al-Farabi yang menyatakan bahwa kenabian adalah suatu bentuk imajinasi tertinggi. Dengan prestasi-prestasi yang hebat dalam filsafat, Ibn Sina kemudian diberi gelar Guru Utama (al-Syaikh al-Rais).
Akan tetapi, segera setelah Ibn Sina, filsafat Yunani kembali mengalami kemunduran karena serangan al-Ghazali, meski al-Ghazali sendiri sebenarnya tidak menyerang inti filsafat. Lewat tulisannya dalam Tahafut al-Falasifah yang diulangi lagi dalam al-Munqid min al-Dlalal, al-Ghazali, sebenarnya hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya pemikiran filsafat al-Farabi (870-950) dan Ibn Sina (980-1037), meski serangan pada kedua tokoh ini sebenarnya tidak tepat, juga pada pemikiran para filosof Yunani purba, seperti Thales (545 SM), Anaximandros (547 SM), Anaximenes (528 SM) dan Heraklitos (480 SM) yang dengan mudah bisa dinilai posisinya dalam aqidah oleh orang awam, bukan ilmu logika atau epistimologinya, karena al-Ghazali sendiri mengakui pentingnya logika dalam pemahaman dan penjabaran ajaran-ajaran agama. Bahkan, dalam al-Mustashffi `ulum al-fiqh, sebuah kitab tentang kajian hukum, al-Ghazali menggunakan epistemologi filsafat, yakni burhani. Akan tetapi, kebesaran al-Ghazali sebagai Hujjat al-Islam telah begitu mengungkung kesadaran masyarakat muslim, sehingga tanpa mengkaji kembali persoalan tersebut dengan teliti mereka telah ikut menyatakan perang dan antipati terhadap filsafat. Bahkan, sampai sekarang di perguruan tinggi sekalipun, jika ada kajian filsafat umumnya masih lebih banyak dilihat pada sisi sejarahnya, bukan metodologi, sistematika atau substansi pemikirannya.
Filsafat Yunani, khususnya Aristotelian, kemudian muncul lagi dalam arena pemikiran Islam pada masa Ibn Rusyd (1126-1198). Lewat tulisannya dalam Tahafut al-Tahafut, Ibn Rusyd berusaha mengangkat kembali filsafat Aristoteles dari serangan al-Ghazali. Namun, usaha ini rupanya kurang berhasil, karena menurut Nurcholish, balasan yang diberikan Ibn Rusyd lebih bersifat Aristotelian sementara serangan al-Ghazali bersifat Neo-platonis. Meski demikian, jelas bahwa dalam bandingannya dengan epistemologi Arab-Islam, Ibn Rusyd lebih mengunggulkan epistemologi filsafat dibanding epistemologi Arab-Islam. Menurutnya, metode burhani (demonstratif) yang dipakai dalam filsafat adalah metode yang sangat bagus dan berguna untuk kalangan elite terpelajar, sementara metode dialektika (jadal) yang dipakai dalam teologi dan yurisprodensi adalah metode biasa yang sesuai untuk kalangan menengah dan kalangan awam. Setelah Ibn Rusyd, filsafat yang nota bene dari Yunani itu tidak lagi terdengar gemanya dalam pemikiran Islam hingga saat ini.
Dikalangan elite terpelajar madzhab ini, pemikiran filsafat masih tetap berjalan dan hidup, sehingga masih lahir tokoh-tokoh terkemuka seperti Mulla Sadra (1571-1640), Mullah Hadi (1797-1873) dan lainnya.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas bisa disimpulkan bahwasanya antara agama dan filsafat ada suatu hubungan yang sangat erat, Keduanya merupakan karunia dari Tuhan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Filsafat membutuhkan agama (wahyu) karena ada masalah-masalah yang berkaitan dengan dengan alam gaib yang tak bisa dijangkau oleh akal filsafat. Sementara agama juga memerlukan filsafat untuk memahami ajaran agama. Berdasarkan perspektif ini, adalah tidak logis apabila ajaran agama dan filsafat saling bertolak belakang.
Perjalanan pemikiran yunani (filsafat) dalam islam mengalami pasanag surut, metode dan pemikiran filsafat Yunani ini, dalam pemikiran Islam, pertama kali dikenalkan dan digunakan oleh al-Kindi (806-875). Dalam kata pengantar buku Filsafat Pertama (al-Falsafat al-ula), yang dipersembahkan untuk khalifah al-Mu`tashim (833-842), al-Kindi menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat, selanjutnya kajian filsafat mulai mendapat tantangan dari kalangan ilmuan islam karena ilmu-ilmu Yunani dianggap bisa menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam terhadap Tuhan. Kedua, adanya kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani adalah orang-orang non-muslim, penganut Machianisme, orang-orang Sabia dan muslim penganut mazhab Batiniyah yang esoteris.
Akan tetapi, diluar Baghdad, di kota-kota propinsi otonom, khususnya di Aleppo dan Damaskus, kajian-kajian filsafat posisitetap giat dilakukan, sehingga melahirkan seorang filosof besar, yakni al-Farabi (870-950), Yang kemudian dilanjutkan oleh Ibnu sina, setelah itu filsafat dalam islam mengalami kemunduran setelah serangan al ghazali dengan bukunya tahafut al falasifah dan al munqid min al dhalal.
Filsafat Yunani, khususnya Aristotelian, kemudian muncul lagi dalam arena pemikiran Islam pada masa Ibn Rusyd (1126-1198). Lewat tulisannya dalam Tahafut al-Tahafut, Ibn Rusyd berusaha mengangkat kembali filsafat Aristoteles dari serangan al-Ghazali.
Dikalangan elite terpelajar madzhab ini, pemikiran filsafat masih tetap berjalan dan hidup, sehingga masih lahir tokoh-tokoh terkemuka seperti Mulla Sadra (1571-1640), Mullah Hadi (1797-1873) dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terj. Amin Abdullah (Jakarta, Rajawali, 1988)
2. Madzkur, Ibrahim, Filsafat Islam, terj, Yudian Wahyudi, Jakarta, Rajawali Press, 1996
3. Abul Hasan 'Amiri, as-Sa'âdah wa al-Is'âd.
4. Allamah Muhammad Husein Thabathabai, Ali as wa Falsafe-ye Ilahi, penerjemah: Sayyid Ibrahim Sayyid Alawi.
5. Ibnu Rusyd, Manâhij al-Adillah fi Aqâid al-Millah.
6. Abu Hayyan Tauhidi, al-Imta' wa al-Muânasah, jilid pertama, bagian kedua.
7. Abul Qasim Baihaqi, Durratul Akhbâr wa Lum'atul Anwâr.
8. www.wisdoms4all.com/Indonesia
9. http://telagahikmah.org/id/index.php?option=com_content&task=view&id=93&Itemid=1