S U G E N G R A W U H

Selamat Datang Di Halaman Kami

Monggo

Kamis, 05 November 2009

USHUL AL FIQH II

PENDAHULUAN
Dengan membaca serta men-Tadabbur-i beberapa penggalan ayat dibawah berikut ini kita bisa memahami betul bahwa segala yang disebutkan dalam Al Qur’an merupakan sesuatu yang mutlak kebenarannya, dan segala yang keluar dari ucapan Rasul Muhammad saw. Bukan dorongan kepentingan dan hawa nafsu, akan tetapi murni ilham dan wahyu dari Allah swt. Allah swt. Berfirman dalam Al Qur’an al Karim
“wama yantiqu anil hawa in huwa illa wahyun yuha” (QS. An Najm: 3)
“Dan Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (QS. Al An’am 155)
“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”(QS. Al A’raf: 52)
Berangkat dari beberapa pemahaman beberapa ayat diatas wajib melakukan bahtsu dan ijtihad dalam rangka menaggapi nushus yang sekilas tampak terjadi ta’arudh secara kasat mata, bahtsu dan ijtihad dalam konteks ini berfungsi sebagai solusi guna mengkompromikan antara dua nash yang tampak ta’arudh tersebut, dan hal inipun melewati beberapa proses dimulai dari al jam’u, al taufiq yang kemudian di akhiri dengan al tarjih. Dalam makalah ini kami akan sedikit mengupas mengenai fenomena ta’arudh dalam Nushus al Syari’ah (dalil-dalil syara’) berdasarkan rumusan para Ulama’.
“ Wahadza awanus syuru’ fil maqshud, biaunil malikil ma’bud.”

PEMBAHASAN

A. TA’ARUDH

Ta’arudh secara bahasa ialah pertentangan diantara dua hal( ) Secara Istilah Ta’arudh al- Adillah diartikan sebagai perlawanan antara kandungan salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil yang lain. Sehingga dalam implikasinya kedua dalil yang berlawanan tersebut tidak mungkin dipakai pada satu waktu. Perlawanan itu dapat terjadi antara Ayat Al-Qur’an dengan Al-Qur’an yang lain, Hadits Mutawatir dengan Hadits Mutawatir yang lain, Hadits Ahad dengan Hadits Ahad yang lain. Sebaliknya perlawanan tersebut tidak akan terjadi apabila kedua dalil tersebut berbeda kekuatannya, karena pada hakikaktnya dalil yang lebih kuatlah yang diamalkan.( )
Wahbah Zuhayli menyatakan bahwa tidak ada pertentangan dalam kalam Allah swt. dan Rasulnya saw. Oleh sebab itu, adanya anggapan ta’arud antara dua atau beberapa dalil, hanyalah dalam pandangan mujtahid bukan pada hakekatnya.
Keberadaan ta’arud pada hakekatnya tidak mungkin nyata dalam hukum syariat karena hal itu akan menyebabkan tanaqudh (saling merusak), dan tanaqudh itu sendiri adalah muhal bagi syar’i, karena itu merupakan tanda kelemahan.( )
Hal ini senada dengan pendapat Abdul Wahab Kholaf bahwasanya secara hakikat tidak mungkin terjadi ta’arudh antara dua ayat atau dua hadits yang sahih, ataupun antara ayat dengan hadits shahih. Maka apabila tampak sebuah ta’arudh diantara dua Nash ini maka pada dasarnya itu hanyalah ta’arudh dhohiri saja yang terlintas pada akal manusia semata. Karena Allah swt. Dan Nabi Muhammad saw. Sebagai Shohibus Syari’ah tidak mungkin memunculkan sebuah dalil dalam satu hukum kemudian memunculkan dalil lain yang bertentangan. “ Wama yantiqu anil hawa in huwa illa wahyun yuha”.
Lebih jauh Abdul Wahab Kholaf memberikan pandangan dalam bukunya “ Ilmu Ushul al Fiqh “bahwa : Ta’arudh tidak akan terjadi pada dua dalil syar’i kecuali jika dua dalil tersebut sama-sama kuat. berarti apabila salah satu dari dari dua dalil tersebut lebih kuat dari pada yang lain, maka yang diambil adalah dalil yang lebih kuat tentunya. berangkat dari sini ta’arudh tidak akan terjadi antara nash bersifat qath’i dengan nash yang bersifat dhanni, antara nash dengan ijma’ atau qiyas, dan antara ijma’ dengan qiyas. Yang mungkin terjadi adalah ta’arudh antara dua ayat, hadits yang sama-sama mutawatir atau satu hadits mutawatir dengan dua hadits bukan mutawatir.( )



B. MACAM-MACAM TA’ARUDH
Jika ada dua nash yang secara dhohir tampak saling bertentangan baik dari Allah SWT. atau dari sabda Nabi Muhammad saw. Atau juga nash yang pertama dari Allah swt. dan yang kedua dari Nabi Muhammad saw. Maka, tidak akan lepas dari empat perkara:
1. Kedua nash tersebut sama-sama ‘Aam (umum)
2. Kedua nash tersebut sama-sama Khos (khusus)
3. Yang satu ‘am dan yang lain khos
4. Yang satu ‘am dalam satu sisi dan khos dalam sisi yang lain
1. Ta’arud ‘am
Jika keberadaan dua nash tersebut sama-sama umum maka hukumnya wajib mengkompromikan keduanya, dengan cara mengarahkan salah satunya pada keberadaan yang berbeda. Karena tidak mungkin mengumpulkan keduanya dan mengamalkannya, dikarenakan semua itu muhal.
Seperti nash al-quran yang artinya:
Orang–orang yang meninggal diantaramu dengan tidak meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beribadah) empat bulan sepuluh hari…(QS. al-Baqarah 234)
Dan firman Allah SWT yang artinya: Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.(QS. Al-thalaq: 4)
Ayat yang pertama yang diatas bersifat umum yaitu setiap perempuan yang ditinggal mati suaminya baik hamil atau tidak, wajib menjala ni iddah selama empat bulan sepuluh hari. Dan ayat yang kedua juga bermakna umum, yaitu setiap wanita hamil baik ditinggal mati suami atau bercerai wajib ber-iddah sampai melahirkan kandungannya.
Dengan demikian antara dua ayat tersebut bila dilihat sepintas terdapat pertentangan mengenai iddah wanita hamil yang di tinggal mati suami. Namun pertentangan itu dapat di kompromikan sehingga kedua ayat tersebut dapat di fungsikan. Dua ayat tersebut bila di kompromikan, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa iddah perempuan hamil yang di tinggal mati suami adalah masa terpanjang dari dua bentuk iddah yaitu sampai melahirkan atau empat bulan sepuluh hari. Jika tidak dapat dikompromikan, maka jalan keluarnya adalah dengan jalan tarjih.
Selanjutnya jika tidak ada peluang untuk mentarjih salah satu dari keduanya, maka langkah selanjutnya adalah dengan meneliti mana diantara dua dalil itu yang lebih dulu datangya. Jika sudah diketahui, maka dalil yang terdahulu dianggap telah dinasakh (dibatalkan oleh yang selanjutnya)
Dan jika tidak mungkin mengetahui mana yang terdahulu maka, jalan keluarnya dengan tidak memakai dua dalil itu dan dalam keadaan demikian, seorang mujtahid hendaklah merujuk kepada dalil yang lebih ringan.
2. Ta’arud khos
Jika keberadaan dua nash sama-sama khoos maka hukumnya seperti nash ‘aam, yaitu berusaha untuk memadukannya jika memungkinkan, jika tidak, maka dengan tidak memakai dua dalil itu sehingga jelas keunggulan dari salah satunya atau diketahui sejarahnya,
Contoh dua nash yang dapat di kompromikan ialah sebuah hadits yang menjelaskan :
“Bahwa Nabi SAW. Wudhu dan membasuh kedua kakinya”. Hadits ini mashur dalam hadits Shahih Bukhari dan Muslim dan lainnya.
Dan hadits:
“Bahwa Nabi SAW. Wudhu dan memercikkan air pada mata kakinya dalam keadaan memakai sandal”. (HR. Nasa’i dan Baihaqi).
Contoh dua nash yang tidak dapat di kompromikan dan tidak di ketahui sejarahnya ialah hadits:
“Bahwa Nabi SAW. Ditanyakan tentang sesuatu yang di perbolehkan bagi laki-laki ketika istrinya haid, Nabi SAW. Menjawab: sesuatu diatas kemaluan. (HR. Abu Dawud)( )
Hadits yang kedua berbunyi:
“Nabi SAW. Berkata: berbuatlah kalian semua apa saja kecuali nikah (wathi’). (HR. Muslim)
Dari kedua hadits diatas terjadi kontradiksi, sebagian ulama mengomentari haram, dan ulama yang lain mengomentari halal dikarenakan hal itu (wathi’) merupakan pokok dalam pernikahan.
Hadits pertama diatas mashur menurut Imam as-Syafi’i dan Imam Malik, sedangkan hadits yang kedua menurut Abu Hanifah dan Ulama yang lain.
3. Ta’arud ‘am dan khos
Jika keberadaan salah satu dari kedua nash itu ‘aam dan yang lain khoos maka, nash yang ‘aam dikhooskan dengan menggunakan nash yang khoos. Seperti hadits shohih Bukhari Muslim:
“ Sesuatu yang disirami oleh hujan, maka zakatnya se-persepuluh”.
Hadits ini menggunakan lafadz ‘aam yang menentukan wajibnya zakat bagi tiap tanaman yang di siram oleh hujan, baik telah sampai lima ausaq (ukuran berat bagi tanaman) atau belum, tetapi keumuman hadits ini dalam ukurannya di tentukan dengan hadits lain yang menentukan bahwa zakat bagi tanaman tidak wajib kecuali sampai lima ausaq, dengan menggunakan hadits:
“ tidak wajib mengeluarkan shodaqoh tanaman jika kurang dari lima ausaq ”.
Dari keterangan kedua hadits diatas memberikan penjelasan bahwa: ke-umum-an hadits yang pertama di takhsis oleh hadits yang kedua.


5. Ta’arud ‘am pada satu sisi, dan khos pada sisi yang lain
Jika terjadi seperti ini maka, salah satu dari nash tersebut di takhsis dengan menggunakan nash yang lain yang khos, itu semua jika dimungkinkan, jika tidak, maka cara lain adalah dengan men-tarjih nash tersebut. Mengenai tarjih akan dikupas oleh kelompok berikutnya.
PENUTUP
Kesimpulan
Pada dasarnya Ta’arudh merupakan sebuah interpretasi yang timbul secara sepintas dari pemikiran Mujtahid, secara hakiki Ta’arudh tidak akan terjadi dalam nushus al syari’ah, hal ini disebabkan karena semua yang telah diturunkan oleh Allah dan segala yang didawuhkan oleh Rasulnya Muhammad saw. Sebagai Shohibus Syari’ah merupakan hal yang apriori dan mustahil terjadi kerancuan didalamnya.
Ta’arudh dalam konteks ushul al fiqh tidak lain merupakan sebuah kajian mendalam tentang nushus al syari’ah yang sekilas tampak terjadi pertentangan dalam kaca mata dhohir, sehingga ditemukan solusi mensikapi hal tersebut secara benar.

Daftar Pustaka
Kholaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al Fiqh, al Haramain, 2004., cet. 2.
Al Maliki, Muhammad bin “alawy, Qawaid al-Asasiyyah,(Surabaya; al-Fithrah)
Yahya, Mukhtar Dkk, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam. (Bandung :Al-Ma’rif,1993),
Effendi, Satria,Ushul fiqh,(Jakarta;Kencana,2008)