S U G E N G R A W U H

Selamat Datang Di Halaman Kami

Monggo

Sabtu, 29 Oktober 2011

MUKHTALIF AL HADITS

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sumber hukum islam yang Muttafaq ‘Alaih setelah Al-Qur’an adalah hadis}, sebagai rujukan dan dasar utama, sudah barang tentu hadis} harus dipastikan otentitas, legalitas dan keabsahannya. hadis} yang merupakan segala hal yang dikaitkan pada Nabi SAW. baik berupa ucapan, perbuatan, dan persetujuan (taqrir), berfungsi sebagai verbalisasi Al-Qur’an, karena banyak redaksi Al-Qur’an yang bersifat umum dan global dijelaskan dan dirinci oleh Nabi SAW. Mengenai otentitas dan keabsahan segala yang diucapkan oleh Nabi SAW. Al-Qur’an telah menyinggung hal ini dalam surat An-Najm ayat 3 yang berbunyi :
          
Artinya :
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Berdasarkan ayat diatas ‘ulama berpendapat bahwa kedudukan Al-Sunnah adalah sama dengan Al-Qur’an dalam segi otentitas dan keabsahannya.
Namun pada perkembangannya, dalam ranah kajian hadis} ‘ulama menemukan beberapa petunjuk hadis} Nabi SAW. yang tampak saling bertentangan (ikhtila>f) antar satu dengan yang lain, sehingga menyulitkan dalam menjadikannya sebagai hujjah atau istidlal hukum, akhirnya ‘ulama merumuskan ide peng-kompromi-an hadis}-hadis} yang tampak saling ta’arrud, mulai dari Al-Jam’u, Al-Tarjih, kemudian Al-Naskh dan terakhir Al-Waqf, Sehingga ada jalan keluar yang membuahkan keyakinan bahwa tidak ada pertentangan antara petunjuk hadis Nabi SAW. yang satu dengan yang lain, karena pada dasarnya bisa dikompromikan, pertentangan itu hanyalah secara kasat mata atau secara dhohir saja.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana menyikapi dan menanggapi petunjuk hadis} Nabi SAW. yang tampak bertentangan?
2. Mana contoh hadis} yang tampak bertentangan?
















BAB II
PEMBAHASAN
A. Ilmu Mukhtalaf Al-Hadis}
Dalam kaidah bahasa Mukhtalaf Al-Hadis} adalah susunan dua kata benda (isim) yakni Mukhtalaf dan Al-Hadis}. Mukhtalaf sendiri adalah isim maf’ul dari kata ikhtalafa yang berarti perselisihan dua hal atau ketidaksesuaian dua hal, secara umum apabila ada dua hal yang bertentangan, hal tersebut bisa dikatakan mukhtalaf atau ikhtila>f.
Sedangkan dalam istilah ahli hadis}, Mukhtalif Al-Hadis (dengan dibaca kasroh lam’)} adalah hadis yang - secara dhohir - tampak saling bertentangan dengan hadis} lain. dan dengan dibaca fathah lam’nya adalah dua hadis} yang secara makna saling bertentangan. dari dua definisi diatas bisa disimpulkan bahwa Mukhtalif Al-Hadis adalah adalah esensi hadis} itu sendiri, sedangkan Mukhtlaf Al-Hadis adalah pertentangannya.
Secara umum dan mudah, Muhktalaf Al-Hadis} adalah upaya ‘ulama untuk mengkompromikan hadis}-hadis} yang tampak saling bertentangan maknanya berlandaskan pada kaidah-kaidah yang telah disepakati dan ditentukan oleh para pakar dibidangnya. dan secara term ilmiah bisa penulis simpulkan bahwa Muhktalaf Al-Hadis} adalah ilmu yang berisi tentang kaidah-kaidah dalam mengkompromikan hadis}-hadis} yang secara dhohir tampak bertentangan.
B. Urgensi Memahami Ilmu Mukhtalaf Al-Hadis}
Bahwasanya memahami hadis} Nabi SAW. dengan pemahaman yang sehat, kuat, dan jernih serta dalam, dan juga melakukan istinbat hukum dari hadis} tersebut secara benar dan sah tidak bisa terlaksana dengan sempurna kecuali didukung dengan pengetahuan tentang Mukhtalaf Al-Hadi>s}, sehingga mau tidak mau (willy or not) bagi seorang ilmuan (‘ulama) yang berkecimpung dalam bidang tersebut memahami Mukhtalaf Al-Hadis} merupakan sebuah keniscayaan.
Saking pentingnya memahami Muhktalaf Al-Hadis}, para ‘ulama bervariasi dalam memposisikan (Makanah) Ilmu Muhktalaf Al-Hadis}.
Diantara mereka adalah Ibnu Hazm Al-Dha>hiri, berikut statmennya :
"وهذا من أدق ما يمكن أن يعترض أهل العلم من تأليف النصوص وأغمضه وأصعبه"
Artinya (kurang lebih) :
“dan ini (maksudnya adalah Ilmu Muhktalaf Al-Hadis) merupakan salah satu disiplin ilmu yang sulit, rumit bagi seorang ilmuan (Ahl Al-‘Ilm) dalam merumuskan atau menjabarkan nash-nash hadis}”
Dan Imam Abu Zakariya Al-Nawawi mengatakan dengan ungkapan :
" هذا فنٌ من أهمِّ الأنواع، ويضطرُّ إلى معرفته جميع العلماء من الطوائف "
Artinya (kurang lebih) :
“dan ini (maksudnya adalah Ilmu Mukhtalaf Al-Hadis) merupakan salah satu fan ilmu terpenting. dan semua ‘ulama dari segala kelompok mutlak membutuhkan pengetahuan tentang ilmu ini.”
Terkait urgensi Ilmu Mukhtalaf Al-Hadits Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :
" فإن تعارض دلالات الأقوال وترجيح بعضها على بعض بحر خضم"
Artinya (kurang lebih):
“sesungguhnya pertentangan (secara dhahir) antara beberapa petunjuk dalil dan melakukan tarjih pada sebagian dalil tersebut merupakan samudera yang sangat luas (artinya sangat luas dan rumit)”

C. Memahami dan Menyikapi Petunjuk Hadis} yang Tampak Bertentangan
Sebenarnya para ‘ulama mulai berabad-abad tahun yang lalu telah mencurahkan perhatian dalam memahami hadis} Nabi SAW. secara mendalam dan teliti, disamping itu mereka juga berusaha keras untuk menhindari dan mencegah asumsi tentang pertentangan antara hadis} satu dengan lain, hal ini berimplikasi pada para ilmuan setelahnya dalam memperlakukan teks-teks hadis} nabi sebagai istidla>l hukum,
Upaya ‘ulama tersebut juga memberikan tarbiyah atau ajaran dan pemahaman tentang penyucian terhadap wahyu Allah SWT. baik yang berupa Al-Qur’an maupun Al-Hadis}, sehingga tidak akan mungkin terjadi pertentangan. dalam rangka menepis anggapan tersebut para ‘ulama berupaya (ijtihad) untuk melakukan kompromi (Al-Jam’u wa Al-Taufiq) antara dalil yang bertentangan secara dhohir, ini sekali lagi dilandasi keyakinan bahwa bagaimanapun juga tidak mungkin ada ta’arudh antara teks-teks wahyu.
Terkait hal ini Ibnu Al-Qayyim memiliki ungkapan yang indah, berikut statmennya:
"فصلوات الله وسلامه على من يصدّق كلامه بعضه بعضاً، ويشهد بعضه لبعض ، فالاختلاف والإشكال والاشتباه إنما هو في الأفهام ، لا فيما خرج من بين شفتيه من الكلام ، والواجب على كل مؤمن أن يَكِلَ ما أشكل عليه إلى أصدق قائل ، ويعلم أن فوق كل ذي علم عليم"

Artinya (kurang lebih):

“semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi yang umgkapannya membenarkan ungkapan yang lain, yang ungkapannya mengakui ungkapan yang lain, maka apabila ada ikhtilaf, isykal, dan isytibah itu merupakan dalam ranah pemahaman manusia yang lemah, bukan merupakan hakikat dari ucapan keluar dari kedua bibirnya, maka menjadi kewajiban bagi setiap mukmin untuk mengembalikan apa yang ia anggap musykil kepada ungkapan yang paling mendekati kebenaran (tarjih), dan agar setiap orang mukmin tahu bahwa diatas orang yang berilmu ada orang yang lebih alim ”


D. Tampaknya Pertentangan diantara Petunjuk Hadis} Nabi SAW.

1. Pertentangan secara Hakiki
Pertentangan secara hakiki adalah ketidaksesuaian yang sangat jelas antara dua dalil yang sama derajatnya dan pada satu masa, dan hal ini mutahil terjadi pada hadis} Nabi SAW., karena kesemuanya itu merupakan wahyu dari Allah swt. Sesuai dengan ayat dalam surat An-Najm 3-4:
وما ينطق عن الهوى (3) إن هو إلا وحي يوحى (4)
Artinya :
“3. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.4.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
wahyu adalah sebuah kebenaran mutlak dan tidak bisa diganggu gugat, karena itu murni dari Allah SWT. hal ini telah dijelaskn oleh Allah SWT dalam surat An-Nisa’ayat 82:
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا (82)
Artinya :
“kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”
Imam Ibnu Al-Qayyim mengatakan :
"وأما حديثان صحيحان صريحان متناقضان من كل وجه ليس أحدهما ناسخاً للآخر فهذا لا يوجد أصلاً ، ومعاذ الله أن يوجد في كلام الصادق المصدوق - صلى الله عليه وسلم - الذي لا يخرج من بين شفتيه إلا الحق"
Artinya (kurang lebih):
“adapun kejadian ada dua hadis} shahih yang sama-sama shari>h seakan –akan saling bertentangan dari segala sisi serta tidak ditemukan adanya unsur Nasikh Mansukh, maka yang seperti ini tidak ada sama sekali, -aku berlindung kepada Allah- seumpama ada ucapan yang keluar dari kedua bibir Nabi Muhammad SAW. yang Al-Sha>diq Al-Masdhu>q”
2. Pertentangan Secara Dhahir
Adalah Al-Wahmu atau pemahaman, prasangka, indikasi dalam hati seseorang secara panca indera, akan tetapi tidak terjadi dalam kenyataan. Mengenai hal ini Imam Ibnu Al-Qayyim menjelaskan beberapa sebab terjadinya penampakan sebuah pertentangan petunjuk hadis} Nabi SAW. ia mengatakan : sebenarnya tidak ada pertentangan antara hadis} shahih, apabila ada indikasi tersebut, maka ini tidak bisa lepas dari 3 kemungkinan:
Pertama : ada kemungkinan salah satu dari dua hadis} tersebut adalah bukan hadis} sebenarnya hadis} asli dari Nabi SAW. dikarenakan adanya kecacatan dari salah satu rawi meskipun dia diklaim sebagai seorang s}iqah.
Kedua : ada kemungkinan hadis} yang satu merupakan Nasikh terhadap hadis lainnya ketika memang hal tersebut dimungkinkan.
Ketiga : pertentangan tersebut sebenarnya terjadi pada pemahaman seorang peneliti, bukan pada esensi hadis} Nabi SAW. hal ini terjadi karena kecerobohan, kelalaian, dan kelemahannya dalam memahami dalil, kedangkalan ilmunya dalam membedakan antara dalil yang shahih dan yang ma’lu>l, sehingga ia menerapkan suatu dalil bukan pada madlul-nya yang sebenarnya.

E. Toeri Penyelesaian Pertentangan Petunjuk Hadis} Nabi SAW.
Menurut pendapat ‘ulama jumhur teori penyesaian pertentangan petunjuk hadis} Nabi SAW. adalah dengan menggunakan beberapan hal berikut :
1. Memakai teori Al-Jam’u baina Al-Hadi>s}aini atau menkompromikan kedua hadis} tersebut, hal ini dikarenakan diantara dua hadis} tidak bisa lepas dari kemungkinan antara ke-umuman dan ke-khususan, mut}laq dan muqayyad, serta mujmal dan mubayyan. Ini berlandaskan dengan kaidah yang sudah ditetapkan oleh ‘ulama bahwa I’ma>l Al Kalam Aula Min Ihma>lihi atau menerapkan ungakapan/dalil lebih utama daripada membiarkannya.
2. Memakai teori Al-Naskhu atau menggugurkan dalil satu dengan dalil lain, hal ini dilakukan apabila tidak dimungkinkan teori Al-Jam’u, teknisnya adalah dengan menulusuri waktu munculnya (Wuru>d Al-Hadis}) agar diketahui hadis} mana yang lebih dahulu dan mana yang lebih akhir, maka kemudian yang akhir dianggap telah merusak/menghapus (Al-Na>sikh) terhadap hadis} yang pertama.
3. Memakai teori Al-Tarji>h. hal ini dilakukan ketika dua teori diatas tidak memungkinkan, yakni dengan menguatkan satu diantara dua hadis} tersebut dengan memandang sudut pandang masing-masing kekuatan dari dalil, bukan semata-mata hawa nafsu atau kepentingan pribadi.
Mengenai hal ini Imam Syafi’i memberikan arahan dan penjelasan : termasuk dari menggunakan teori Al-Tarjih adalah bahwasanya diantara kedua hadis} tersebut tidak bisa lepas dari kemungkinan paling mendekati pada Al-Qur’an, atau paling mendekati dengan sunah-sunah Nabi SAW>., selain dua hadis} yang mukhtalaf tersebut, atau lebih mendekati pada Qiyas, maka menurutku hadis} itulah yang saya menangkan.

4. Memakai teori Al-Tawaqquf. Teori ini digunakan apabila ketiga cara diatas sudah tidak memungkinkan, teori ini berlaku sampai ditemukan dalil lain yang mendukung.
Dalam konteks ini Imam Al-Sya>tibi berpendapat bahwa ma-mauquf-kan keputusan ketika tidak dimungkinkan tarjih adalah menjadi hukum wajib. Senada dengan Imam Al Syati>bi adalah Imam Al-Sakhowi >, ia mengatakan bahwa melakukan tawaqquf lebih utama daripada melakukan pengguguran (tasaqquth) dalil, karena kesamaran pemahaman terhadap dalil itu terjadi pada seseorang pada waktu saat itu, padahal ada kemungkinan hal tersebut tidak samar lagi bagi seseorang lain, karena diatas orang ‘alim ada orang yang lebih alim.

F. Contoh Hadits Yang Tampak Bertentangan
Berikut penulis paparkan contoh hadis} Nabi SAW. yang tampak bertentangan antara satu dengan yang lain, namun bisa dikompromikan sehingga pertentangan itu bisa disikapi.
Dalam hadis} riwayat yang di takhrij oleh Abu Dawud nomor indeks 203, Rasulullah SAW. bersabda yang artinya : “barang siapa tidur, maka hendaklah ia wudhu’…!”. Sedangkan dalam hadis} yang di takhrij oleh Muslim nomor indeks 376., riwayat Anas bin Malik (ia berkata) : “suatu ketika iqamat (shalat) telah dikumandangkan, namun pada waktu itu Nabi SAW. masih bercakap-cakap dengan seorang laki-laki sampai waktu yang cukup lama sehingga para shahabat (ter)tidur, kemudian Nabi SAW. datang dan shalat bersama mereka”. dan pada redaksi yang lain dengan riwayat yang sama (Anas berkata): “para shahabat Rasulullah SAW. (pernah) tidur, kemudian mereka melakukan shalat dan mereka tidak melakukan wudhu’.”
Dari dua hadis} diatas nampak ketidaksingkronan, disatu sisi ada perintah wudhu’ dari Rasulullah SAW., pada orang yang yang tidur, dan disisi lain para sahabat (ter)tidur kemudian melakukan shalat bersama Nabi SAW. akhirnya para ‘ulama mengkompromikan kedua hadis} diatas, yakni hadits yang pertama diarahkan pada orang yang tidur dalam posisi ghairu mutamakkinin maq’adahu (tidak menetapkan pantatnya kebumi/lantai), sedangkan hadis} kedua diarahkan pada tidur dengan posisi mutamakkinin maq’adahu (menetapkan pantatnya kelantai). Landasan pemikiran diatas adalah bahwa para shahabat pada waktu itu sedang duduk dengan menetapkan pantat kelantai, karena mereka berada dimasjid menunggu shalat jama’ah, dan berkeyakinan bahwa Nabi SAW. akan datang dengan tiba-tiba dan melakukan shalat dengan mereka. Sehingga dalam rumusan fiqih syafi’i tidur dengan posisi mutamakkinin maq’adahu tidak membatalkan wudhu’

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Para ‘ulama sejak dari beratus telah melakukan pemahaman yang dalam dan mendalam serta teliti terhadap hadis} Nabi SAW. mereka memiliki keyakinan bahwa hadis} merupakan sejajar dengan Al-Qur’an dalam otentitas dan keabsahannya, maka dari itu mereka meyakini bahwa secara hakikat tidak ada pertentangan atau ikhtilaf diantara hadis} satu dengan hadis} lainnya, kalau memang terjadi itu hanya secara lahiriyah atau kasat mata saja.
Dalam menyikapi petunjuk hadis} Nabi SAW. yang tampak bertentangan para ‘ulama telah merumuskan beberapa metode penyelesaian, yakni mulai dari:
1. Aj-Jam’u wa Al-Taufi>q
2. Al-Naskhu
3. Al-Tarji>h
4. Al-Tawaqquf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar