S U G E N G R A W U H

Selamat Datang Di Halaman Kami

Monggo

Selasa, 04 Januari 2011

MAKALAH HADITS MENGENAI ISTINJA'

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama yang komprehensif yakni menjelaskan semua aspek kehidupan manusia, mulai dari hal yang bertalian dengan hubungan antara manusia dengan Rabbnya (Hablum min Alloh) dan juga yang bertalian dengan hubungan antara manusia dengan sesamanya (Hablum min an Nas), salah satu hal yang mendapat perhatian tinggi dari islam ialah masalah istinja’.
Jika kita perhatikan dan amati dalam semua kitab – kitab fiqh hampir seluruhnya diawali dengan Bab Thoharoh, ini menendakan bahwa agama islam sangat menjunjung tinggi mengenai masalah kesucian, salah satu hal yang urgen dan pokok dalam hal bersuci adalah bersuci dari kotoran (Istinja’).
Dalam makalah singkat ini penulis akan memaparkan beberapa Hadits yang mendasari perintah untuk melakukan istinjak.

B. Identifikasi Masalah
Hadits – hadits Nabi Muhammad saw. Yang menjadi dasar hukum tentang Istinja’ dan beberapa tata kramanya.

C. Rumusan Masalah
1. Manakah hadits – hadits Nabi saw. Yang menjadi landasan hukum mengenai istinja’?
2. Apa pengertian dan hukum istinja’ ?
3. Bagaimana tata krama istinja’ menurut hadits ?



D. Tujuan penulisan
Ingin mengetahui dan memahami hadits – hadits Nabi saw. Yang menjadi landasan hukum mengenai istinja’ serta devinisi, hukum dan tata krama istinja’
E. Tinjauan Pustaka
1. Muhammad bin Isma’il bin Ibrohim bin Al Mughiroh Al Bukhori, Al Jami’ As Shohih.tt,tp
2. Muslim bin Al Hujjaj Al Qusyairi An Naisaburi, Shohih Muslim.tt,tp
3. Dr. Musthofa Khon, Dkk, Fiqhul Manhaji Ala Madzhabil Imam As Syafi’I, (Al Fithrah Surabaya), tt
4. Abdurrahman Al Jazairi, Kitabul Fiqh Ala Madzahib Al ‘Arbaah, Dar Al Kotob Al Ilmiyah, Beirut, cet. Ke 3, 2006.











BAB II
PEMBAHASAN

A. Hadits – hadits tentang istinja’

Mayoritas Ulama’ sepakat bahwa Istinjak hukumnya wajib, berdasarkan beberapa Hadits berikut ini.
1. Riwayat Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik ra. Ia berkata :
“كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يدخل الخلاء فأحمل أنا وغلام إداوة من ماء وعنزة يستنجي بالماء”
2. Riwayat Bukhori dan lainnya dari Ibnu Mas’ud ra. Ia berkata :
أتى النبي صلى الله عليه وسلم الغائط فأمرني ان آتيه بثلاثة أحجار .
3. Riwayat Abu Dawud dan lainnya dari ‘Aisyah rah. Bahwa Rosululloh saw. Bersabda :
إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ يَسْتَطِيبُ بِهِنَّ فَإِنَّهَا تُجْزِئُ عَنْهُ
4. Riwayat Muslim dari Salman ra. Nabi saw bersabda :
لاَ يَسْتَنْجِى أَحَدُكُمْ بِدُونِ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ
B. Kajian sanad riwayat Al Bukhori
1. Teks hadits dengan sanad lengkap
حدثنا محمد بن بشار قال حدثنا محمد بن جعفر قال حدثنا شعبة عن عطاء بن أبي ميمونة : سمع أنس بن مالك يقول كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يدخل الخلاء فأحمل أنا وغلام إداوة من ماء وعنزة يستنجي بالماء.
Artinya :
Becerita kepada kami Muhammad bin basyar, ia berkata : bercerita kepada kami muhamamd bin Ja’far, ia berkata : bercerita kepada kami Syu’bah dari Atho’ bin Aby Maimunah : ia mendengar Anas bin Malik berkata : “suatu ketika Rosululloh saw. Masuk ke Jamban, kemudian saya bersama seorang pemuda membawa bejana berisi air dan sebuah tongkat, lalu Nabi istinja’ dengan memakai air tersebut”
2. Paparan perawi hadits
Anas bin Malik
Atho’ bin Aby Maimunah
Syu’bah
Muhammad bin Ja’far
Muhammad bin Basyar
Imam Bukhori
3. Biografi dan kualitas perawi
- Anas bin Malik Al Qurasyi, seorang Shohabi, Tsiqoh.
- Atho’ bin aby maimunah, pembantu Anas bin Malik, L: tidak diketahui, W: 131 H. Tsiqoh, Shoduq menurut ibnu hajar
- Syu’bah bin Al Hajjaj bin Al Warid, pembesar atbaut tabiin, L: td, W: 160 H, Tsiqoh, Hafidz.
- Muhammad bin Ja’far Al Hadzaly, L: td, W: 293 H, Tsiqoh.
- Muhammad bin Basyar bin Utsman Al Abady, L: td, W: 252 H, Tsiqoh.
- Muhammad bin Isma’il bin Ibrohim bin Al Mughiroh Al Bukhori, Tsiqoh.
Dari paparan biografi perawi berdasarkan penelitian semuanya Tsiqoh dan dengan memperhatikan tahun wafat dari masing-masing perawi sangat mungkin mereka bertemu (liqa’) jadi sanadnya muttasil .


C. Definisi dan hukum Istinja’
Secara harfiyah istinja’ diambil dari ka an naja’ artinya bersih dari kotoran, sedangkan dalam literature kitab Fiqh arti istinja’ menurut syara’ ialah menghilangkan atau meringankan najis dari qubul atau dubur.
Mayoritas ‘ulama sepakat bahwa istinja’ hukumnya wajib, berdasarkan hadits-hadits yang penulis paparkan pada pembahasan sub A.
Hukum asal istinja’ ialah dengan memakai air mutlak/suci, namun benda-benda selain air juga boleh digunakan untuk istinja’ dengan catatan benda tersebut keras dan kasar sekiranya bias mengangkat najis, seperti batu dan sejenisnya.
Akan tetapi yang paling utama dalam istinja’ adalah diawali dengan batu kemudian diteruskan dan disempurnakan dengan memakai air bersih, batu disini berfungsi sebagai pengangkat kotoran dan air sebagai pembersih bekas kotoran tersebut, sehingga bersihnya menjadi maksimal.
Namun apabila menginginkan memilih salah satu maka air lebih utama digunakan karena air bias mengangkat najis dan bekasnya sekaligus tidak seperti batu yang masih meniggalkan bekas dengan catatan batu tersebut kering dan digunakan sebelum najisnya kering, dan ini hanya berlaku untuk najis yang tidak sampai meluber dari tempat keluarnya.
Hukum diatas berdasarkan hadits Riwayat Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik ra. Ia berkata :
“كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يدخل الخلاء فأحمل أنا وغلام إداوة من ماء وعنزة يستنجي بالماء”
Dan juga Riwayat Bukhori dan lainnya dari Ibnu Mas’ud ra. Ia berkata :
أتى النبي صلى الله عليه وسلم الغائط فأمرني ان آتيه بثلاثة أحجار
Dua hadits diatas menunjukkan bahwa Nabi saw. Istinja’ dengan menggunakan dua jenis benda, yakni dalam satu waktu menggunakan air, dan pada kesempatan lain memakai batu.
Tidak boleh hukumnya istinja’ memakai benda najis atau yang mutanajjis, ini berlandaskan HAdits Riwayat Al Bukhori dari Ibnu Abbas ra. :
“أتى النبي صلى الله عليه و سلم الغائط فأمرني أن آتيه بثلاثة أحجار فوجدت حجرين / والتمست الثالث فلم أجده فأخذت روثة فأتيته بها فأخذ الحجرين وألقى الروثة وقال ( هذا ركس(
Menelaah hadits diatas yang mana Nabi saw. Membuang routsah yang diberikan oleh Ibnu abas dengan alas an najis, maka istinja’ dengan benda najis hukumnya tidak sah.
Dan juga haram istinja’ memakai makanan atau benda-benda yang masuk kategori Muhtarom Syar’an (dimulyakan).

D. Tata krama Istinja’ berdasarkan hadits
Ada beberapa tata karma dalam istinja’ yang sudah sepantasnya bagi muslim untuk menjaganya ketika ia istinja’, seperti menjauhi jalan yang sering dilewati orang atau tempat-tempat yang sering dipakai duduk orang, karena hal ini menyakiti mereka dan merusak ketertiban umum.
Imam Muslim meriwayatkan Hadits dari Abu Huroiroh ra. :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ ». قَالُوا وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « الَّذِى يَتَخَلَّى فِى طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ فِى ظِلِّهِمْ ».
Salah satu tempat yang harus dihindari adalah lubang, karena ada larangan dari Nabi saw. Berdasrkan Hadits Riwayat Abu dawud dari Abdulloh bin Sarjis berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ يُبَالَ فِى الْجُحْرِ. قَالَ قَالُوا لِقَتَادَةَ مَا يُكْرَهُ مِنَ الْبَوْلِ فِى الْجُحْرِ قَالَ كَانَ يُقَالُ إِنَّهَا مَسَاكِنُ الْجِنِّ.
















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Mayoritas Ulama’ sepakat bahwa Istinjak hukumnya wajib, berdasarkan beberapa Hadits berikut ini.
- Riwayat Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik ra. Ia berkata :
“كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يدخل الخلاء فأحمل أنا وغلام إداوة من ماء وعنزة يستنجي بالماء”
- Riwayat Bukhori dan lainnya dari Ibnu Mas’ud ra. Ia berkata :
أتى النبي صلى الله عليه وسلم الغائط فأمرني ان آتيه بثلاثة أحجار .
- Riwayat Abu Dawud dan lainnya dari ‘Aisyah rah. Bahwa Rosululloh saw. Bersabda :
إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ يَسْتَطِيبُ بِهِنَّ فَإِنَّهَا تُجْزِئُ عَنْهُ
- Riwayat Muslim dari Salman ra. Nabi saw bersabda :
لاَ يَسْتَنْجِى أَحَدُكُمْ بِدُونِ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ

2. Secara harfiyah istinja’ diambil dari kata an naja’ artinya bersih dari kotoran, sedangkan dalam literature kitab Fiqh arti istinja’ menurut syara’ ialah menghilangkan atau meringankan najis dari qubul atau dubur. Mayoritas ‘ulama sepakat bahwa istinja’ hukumnya wajib,
3. Ada beberapa tata karma dalam istinja’ yang sudah sepantasnya bagi muslim untuk menjaganya ketika ia istinja’, seperti menjauhi jalan yang sering dilewati orang atau tempat-tempat yang sering dipakai duduk orang, dan menghindari lubang karena ada larangan langsung dari Rosululloh saw.

Daftar Pustaka
1. Muhammad bin Isma’il bin Ibrohim bin Al Mughiroh Al Bukhori, Al Jami’ As Shohih.tt,tp
2. Muslim bin Al Hujjaj Al Qusyairi An Naisaburi, Shohih Muslim.tt,tp
3. Dr. Musthofa Khon, Dkk, Fiqhul Manhaji Ala Madzhabil Imam As Syafi’I, (Al Fithrah Surabaya), tt
4. Abdurrahman Al Jazairi, Kitabul Fiqh Ala Madzahib Al ‘Arbaah, Dar Al Kotob Al Ilmiyah, Beirut, cet. Ke 3, 2006.
5. Sulaiman bin Al Asy’asy As Sijistani, Sunan Abu Dawud, tp,tt.

ANTARA PEMIMPIN CALON PENGHUNI SURGA & CALON PENGHUNI NERAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Jika dipandang dari segi materi dan ketenaran dunia yang fana ini, kepemimpinan merupakan hal yang wajar untuk diimpikan setiap orang, tak heran bila masa pergantian pemimpin tiba bursa calon pemimpin menjadi ramai pendaftar, mulai dari perangkat terendah yakni desa sampai dengan tingkat legislative, yudikatif maupun eksekutif.
Hegemoni gandrung kepemimpinan ini memang wajar dikejar – kejar orang yang tak sedikit yang menimbulkan pertumpahan darah dan perang saudara, karena disamping jaminan yang bersifat social masyarakat yakni kehormatan dan kedudukan, yang paling mendasar dan pasti adalah jaminan financial dan kesejahteraan taraf hidup bagi diri pemimpin itu dan keluarga tentunya.
Namun apakah orang-orang yang gandrung terhadap kepemimpinan itu sudah tau atau faham tentang sabda Nabi saw. Tentang 3 macam pemimpin? Sehingga bias sedikit mengurangi semangat mereka untuk mengejar-ngejar kursi itu.
Dalam makalah singkat ini penulis akan berusaha memeparkan analisa ulama’ dalam memahami hadits Nabi Muhammad saw. Tentang pemimpin calon penghuni surge dan calon penghuni neraka.
B. Identifikasi Masalah
Memahami dan mendalami Hadits Nabi Muhammad saw. Tentang tiga macam pemimpin.
C. Rumusan Masalah
1. Apa makna yang terkandung dalam hadits Nabi saw. Mengenai 3 macam pemimpin?
D. Tujuan penulisan
Ingin mengetahui dan memahami hadits Nabi saw. Tentang tiga macam pemimpin.
E. Metode Penelitian
Dalam tugas makalah ini penulis menggunakan metode kajian pustaka (Library Reseach) dari Maktabah Syamilah dan kitab-kitab hadits klasik lain.
F. Tinjauan Pustaka
1. Muhammad bin Ali bin Muhammad As Syaukani, Nailul Author Min Asrori Muntaqol Akhbar, Beirut, tp,tt.
2. Muhammad bin Isma’il bin Ibrohim bin Al Mughiroh Al Bukhori, Al Jami’ As Shohih.tt,tp
3. Muslim bin Al Hujjaj Al Qusyairi An Naisaburi, Shohih Muslim.tt,tp
4. Al Maktabah As Syamilah Al Ishdar Tsani, 2000 kitab dengan kata kunci ” القضاء ثلاثة”








BAB II
PEMBAHASAN

A. Teks hadits dan terjemah
وعن بريدة عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال " القضاء ثلاثة واحدة في الجنة وإثنان في النار فأما الذي في الجنة فرجل عرف الحق فقضي به ورجل عرف الحق وجار في الحكم فهو في النار ورجل قضي للناس على جهل فهو في النار "
Artinya :
Dari Buroidah dari Nabi Muhammad saw. Beliau bersabda : “ada tiga macam pemimpin, satu di surga, dan dua lainnya di neraka. Adapun yang berada di syurga ialah laki-laki yang tau dan mengerti kebenaran kemudian ia menghukumi dengan kebenaran itu, dan laki-laki yang mengerti kebenaran akan tetapi ia ceroboh dan menyeleweng dalam menghukumi, maka ia di neraka, dan laki-laki yang memimpin dan menghukumi manusia dengan kebodohannya, maka ia di neraka. “
B. Studi matan hadits
Hadits diatas menggunakan kata rojulun, ini mengindikasikan akan syarat laki-laki bagi seorang pemimpin, demikian komentar As Syaukani dalam Nailul Author.
Sedangkan dalam kitab kitab Syarhus Sunnah milik Imam Al Baghowi, dikatakan bahwa: Hadits diatas menunjukkan bahwa bagi pemimpin tidak diperbolehkan untuk taqlid kepada orang lain sehingga ia berijtihad dengan kemampuannya, sekalipun kepada orang yang lebih pintar.
Dalam Syarah Sunan Abu Dawud karya Abdul Muhsin Ibad, beliau mengomentari redaksi فأما الذي في الجنة فرجل عرف الحق فقضى به yakni pemimpin yang memang kredibel dan kapabel. kemudian ia memutuskan hukum berdasarkan kapabilitas dan kredibilitasnya. dan itu menyebabkannya masuk surga, karena ia mengetahui kebenaran itu dan menjalankannya.
Dan pada redaksi ورجل عرف الحق فجار في الحكم beliau berkomentar yakni pemimpin yang mengetahui kebenaran akan tetapi ia memutuskan hukum tidak sesuai dengan kebenaran itu, ini menyebabkan ia di neraka, karena ia telah menyeleweng.
Selanjutnya pada redaksi ورجل قضى للناس على جهل فهو في النار bahwa seorang pemimpin yang memutuskan hukum dikalangan umat tanpa disertai ilmu maka ia tidak bias ditolerir, karena dengan kebodohannya seharusnya ia tidak layak menjadi pemimpin, sehingga meskipun seandainya yang ia putuskan itu benar ia tetap berdosa, putusannya itu tidak berarti apa-apa dan percuma karena hanya didasarkan pada jahlin bukan keilmuan dan kemampuan. Berbeda ketika kesalahan memutuskan hukum itu timbul dari pemimpin yang kredibel dan kapabel setelah melakukakan ijtihad kemudian salah, ia tetap mendapatkan pahala satu dan bebas dari dosa, sedangkan bila putusannya benar ia mendapat dua pahala, satu pahala karena kebenarannya dan satu pahala untuk ijtihadnya.
Pada kesimpulannya yang berada di neraka adalah dua macam pemimpin: yang pertama pemimpin yang mengetahui kebenaran akan tetapi tidak menjalankan kebenaran itu, kedua pemimpin yang memutuskan hukum tanpa ilmu masing-masing dari kedua macam orang ini masuk neraka, kedua dianggap bersalah, namun yang pertama dinilai lebih parah dan lebih buruk, karena dengan sengaja melakukan maksiat kepada Allah swt.
Dan pemimpin yang layak masuk surga Allah swt adalah pemimpin yang jujur dalam memutuskan hukum sesuai dengan kemampuan dan keilmuannya.
Hikmah yang bisa kita petik dari hadits diatas adalah bahwasanya pemimpin itu bukan hal main-main dan bukan sembarang orang layak mendudukinya, karena harus dipegang oleh orang yang memilki kemampuan lahir dan bathin, kemampuan lahir artinya keilmuan yang mumpuni, kemampuan bathin artinya kesungguhan dan kejujuran dalam memutuskan hukum.



















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Bahwa ada dua jenis pemimpin yang diancam oleh Allah akan dimasukkan ke neraka yakni:
• pertama pemimpin yang mengetahui kebenaran akan tetapi tidak menjalankan kebenaran itu,
• kedua pemimpin yang memutuskan hukum tanpa ilmu masing-masing dari kedua macam pemimpin ini masuk neraka, kedua dianggap bersalah, namun yang pertama dinilai lebih parah dan lebih buruk, karena dengan sengaja melakukan maksiat kepada Allah swt.
Dan pemimpin yang layak masuk surga Allah swt adalah pemimpin yang jujur dalam memutuskan hukum sesuai dengan kemampuan dan keilmuannya.

Saran








Daftar Pustaka
1. Muhammad bin Isma’il bin Ibrohim bin Al Mughiroh Al Bukhori, Al Jami’ As Shohih.tt,tp
2. Muslim bin Al Hujjaj Al Qusyairi An Naisaburi, Shohih Muslim.tt,tp
3. Sulaiman bin Al Asy’asy As Sijistani, Sunan Abu Dawud, tp,tt.
4. Abdul Muhsin Ibad, Syarhu Sunan Abu Dawud, tp,tt.
5. Muhammad bin Ali bin Muhammad As Syaukani, Nailul Author Min Asrori Muntaqol Akhbar, Beirut, tp,tt.
6. Al Maktabah As Syamilah Al Ishdar Tsani, 2000 kitab dengan kata kunci ” القضاء ثلاثة”